Optika.id - Bursa politik, terutama calon presiden dan wakil presiden kian menghangat jelang Pemilu 2024. Hasil-hasil survei dari berbagai lembaga pun memasukkan tiga kandidat kuat sebagai capres 2024 yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Dua dari tiga kandidat saat ini tengah menjajaki cawapres potensial yang bakal mendampingi mereka. Sejumlah nama pun digadang-gadang menjadi cawapres mereka.
Baca Juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan
Namun, dalam bursa capres maupun cawapres ini, elektabilitas perempuan selalu dipertanyakan lantaran selalu kecil dan redup dalam bayang-bayang dominasi maskulin calon laki-laki.
Hurriyah selaku Wakil Direktur Eksekutif Puskapol Indonesia menjelaskan ada beberapa faktor yang membuat calon perempuan kurang dilirik serta tidak mendapatkan elektabilitas yang tinggi dalam penjajakan lembaga-lembaga survei.
Poin utama yang mempengaruhi menurut Hurriyah adalah dari sisi figure dan kandidat itu sendiri. saat ini, kandidat yang ada masih belum memiliki dua poin utama dalam meningkatkan elektabilitasnya yakni kemampuan figure mengekspos diri ke publik atau membangun citra dan komunikasi, serta peran pemberitaan media.
Dua hal itu dilihat oleh Hurriyah sangat berperan apabila dibandingkan antara pemimpin perempuan yang masih jauh dari hal tersebut dengan pemimpin laki-laki.
Sedangkan pada poin pertama, dia melihat bahwa kebanyakan kandidat perempuan ini tidak mampu membangun upaya komunikasi dengan rakyat sehingga pencitraannya tidak mulus. Hal tersebut berbeda dengan cara kerja Ganjar, hingga Ridwan Kamil yang mampu membangun komunikasi dengan rakyat tanpa jarak. Di sisi lain, dia mengingatkan bahwa masyarakat memiliki preferensi memilih suatu kandidat dengan alasan figure tersebut bisa diajak bicara oleh masyarakat atau down to earth.
Dalam konteks itu kalau kita bandingkan Bu Puan, Bu Khofifah, Bu Risma sekalipun kan tidak berupaya membangun engagement seperti itu. Jadi kesan formal itu kelihatan, distancingnya kelihatan," kata Hurriyah, Kamis (21/9/2023).
Yang kedua adalah mengenai eksposur media. Persepsi publik terhadap suatu tokoh selalu dipengaruhi oleh eksposur media. Hal ini bisa dilihat dari keberhasilan Jokowi pada putaran Pilpres tahun 2014 dan 2019. Serta, kesuksesan Anies Baswedan di tahun 2017 dalam Pilkada DKI hingga dalam beberapa isu, ada kesuksesan Ganjar dan juga Risma. Akan tetapi, pemberitaan justru lebih mengarah pada citra negatif dari kandidat perempuan.
Misalnya, pemberitaan tentang Risma yang suka marah-marah, pencitraan yang tidak mulus, hingga keributan antara Risma dan Khofifah di masa lalu. Tak hanya Risma maupun Khofifah. Di samping faktor-faktor tadi, Hurriyah mengingatkan bahwa sampai saat ini citra patriarki masih mengakar kuat di masyarakat yang membuat publik masih menilai soal isu kewibawaan atau persepsi perempuan yang hanya bisa tugas domestic dan tidak layak menjadi pemimpin.
Baca Juga: Gagasan Tangani Isu Keperempuanan Capres Tidak Menyentuh Akar Masalah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jadi ada persoalan persepsi, kemudian juga kultur dan yang ketiga mungkin ini menurut saya merefleksikan juga persoalan mendasar yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia. Paradigma tentang kesetaraan gender, keadilan gender itu memang belum menjadi concern utama untuk publik," ucap Hurriyah.
Lantas pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa perempuan bisa dengan mudah menjadi kepala daerah, namun sulit menjadi presiden?
Menurut Hurriyah, hal tersebut dipengaruhi oleh perempuan yang memiliki keterbatasan dalam menjangkau masyarakat. Faktor tersebut kemudian terantuk dengan kondisi arus politik di Indonesia yang masih membuat parpol menempatkan penguasa dalam penjajakan kandidat.
Ada persoalan kemampuan mobilitas, kemampuan akses terhadap sumber daya dan lain sebagainya. Tidak banyak perempuan yang punya pengaruh cukup kuat di partai politik. Bahkan seorang Puan yang digadang-gadang memegang golden ticket pun masih harus mengalah dengan Ganjar," ungkapnya.
Baca Juga: Mengulik Hubungan Mesra NU dengan Pemerintah
Lebih lanjut dia mengingatkan bahwa pragmatis mengejar kemenangan adalah ciri khas dari partai di Indonesia. Mereka akan mencari berbagai cara agar menang meski ada kandidat perempuan yang punya pengaruh besar.
Maka dari itu, dirinya menilai bahwa saat ini tantangan sulit dalam perpolitikan khususnya bagi perempuan adalah dengan mendapatkan akses ke tingkat nasional akibat dominasi kuasa laki-laki serta sifat pragmatism partai itu sendiri.
Jadi memang kuncinya di partai juga sih dan kalau kita lihat ini general tampuk kepemimpinan di partai masih banyak dikuasai laki-laki. Kalaupun ada perempuan, perempuan saja wujudnya, jenis kelamin perempuan tetapi cara pandanganya, paradigmanya belum tentu mencerminkan paradigma yang pro terhadap keterwakilan perempuan," jelasnya.
Editor : Pahlevi