Ranah Berlapis Politik Uang di Tanah Air

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 26 Sep 2023 13:36 WIB

Ranah Berlapis Politik Uang di Tanah Air

Optika.id - Mendekati gelaran pesta demokrasi pada tahun 2024 nanti, tentu masyarakat sudah akrab dengan yang namanya politik uang alias money politic. Tapi tahukah kalian bahwa politik uang ini merupakan tindakan dalam ranah yang berlapis?

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Pegiat pemilu dan dosen hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini menjelaskan bahwa ada tiga ranah yang bisa disusupi oleh politik uang dalam pemilu nanti. yang pertama yakni berupa jual beli tiket pencalonan oleh partai politik atau candidacy buying.

Ini popular disebut sebagai praktik mahar politik atau uang perahu. Calon menyetor sejumlah uang agar bisa dicalonkan oleh partai politik dalam pemilu atau pilkada," kata Titi ketika dihubungi, Selasa (26/9/2023).

Kedua yakni berupa jual beli suara atau vote buying. Caranya adalah calon atau pihak terkait yang terafiliasi dengan calon, baik resmi maupun tidak resmi, menyuap para pemilih dengan sejumlah uang untuk ditukar dengan suara mereka dalam bilik suara nantinya.

Jual beli suara ini popular disebut money politic di masyarakat kita," ucap Titi.

Sedangkan yang ketiga adalah tindakan menyuap otoritas kepemiluan dari berbagai tingkatan baik lembaga penyelenggara pemilu hingga hakim pemilu demi memanipulasi suara atau kepentingan pengamanan suara.

Misalnya terjadi saat Pilkada Garut 2018 atau pun kasus suap terhadap mantan Ketua MK, Akil Mochtar pada 2013, jelasnya.

Lebih lanjut dia menerangkan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa politik uang susah untuk dieliminasi di negeri ini.

Yang pertama adalah karena instrument hukum yang tersedia sangat lemah serta cenderung susah untuk melakukan penegakan hukum secara efektif dan menyeluruh.

Baca Juga: Netizen Respon Upaya Anies Dirikan Partai, Ini Penjelasannya!

Jadi, imbuhnya, timbul disparitas antara pengaturan dalam UU dengan realitas yang ada di lapangan. Dia mencontohkan misalnya terkait jual beli suara di pemilu, pengaturan dalam UU yang hanya bisa menyasar tindakan yang terjadi ketika masa kampanye, masa tenang dan ketika hari pemungutan tiba sekaligus penghitungan suaranya. Sementara itu, praktik culas jual beli suara sering terjadi di luar masa-masa itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di lain sisi, Titi menilai ada perbedaan pemahaman dan tafsir antara Bawaslu dengan aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan yang kerap menghambat tindak lanjut penanganan kasus di Sentra Gakkumdu sebagai pintu masuk penanganan perkara tindak pidana pemilu.

Untuk praktik mahar politik bahkan baik UU Pemilu ataupun UU Pilkada tidak punya skema hukum untuk penegakkannya," ungkapnya.

Kendati demikian dia mengakui memang ada larangan, akan tetapi masih belum ada pasal yang mengatur terkait mekanisme penghakiman dan penjatuhan sanksi. Maka dari itu, dia menyebut bahwa instrument hukum yang tersedia memang didesain untuk tidak memungkinkan dilakukannya penegakan hukum yang memberi efek jera terhadap praktik mahar politik ini.

Bisa jadi pembuat UU memang tidak mau menjerat dirinya sendiri, imbuhnya.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Dia pun menyoroti bahwa parpol juga abai dalam isu politik uang bahkan kurang mengawal serta menjaga kadernya untuk bisa memegang komitmen politik yang bersih dan anti korupsi. Parpol saat ini masih belum memiliki skema pengawasan kader padahal hal itu dibutuhkan agar mereka tidak terlibat dalam praktik jual beli suara.

"Seolah-olah caleg dilepas begitu saja dalam kerja-kerja pemenangan, yang penting mampu mendulang suara sebanyak-banyaknya," ucap Titi.

Dari sisi pemilih pun menurutnya banyak yang pragmatis dengan memanfaatkan momentum pemilu untuk mendapatkan insentif dari para caleg. Para pemilih masih menganggap bahwa kalau bukan di masa pemilu maka mereka tidak akan punya posisi tawar terhadap para politisi mengingat ada keterputusan relasi aspiratif antara warga dengan para wakilnya di luar periode pemilu.

"Jadi pemilih terdorong untuk juga berperilaku pragmatis dan oportunistik yang sejatinya dipicu oleh perilaku para politisi itu sendiri," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU