Optika.id - Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki hutang moral yang besar terhadap korban-korban yang dilanggar HAM nya. Selama tidak ada permintaan maaf dari negara secara resmi, maka negara masih tidak mengakui adanya kesalahan. Hal tersebut juga menimbulkan indikasi bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu berpotensi akan terulang kembali.
Permintaan maaf adalah salah satu bentuk reparasi yang wajib diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM berat atas penderitaan yang mereka tanggung dan alami, termasuk kepada para eksil korban 65, kata Usman, dalam keterangan Amnesty International Indonesia, dikutip Optika.id, Senin (16/10/2023).
Baca Juga: Ditjen HAM Pastikan Lindungi Hak Difabel pada Pemilu 2024
Dirinya pun menyesalkan sikap pemerintah yang seolah bebal dan tidak pernah terbersit untuk melakukan permintaan maaf kepada para korban HAM berat masa lalu. Usman menegaskan, siapapun pemerintahannya saat ini, maka pemimpin negara tetap harus bertanggung jawab untuk menuntaskan berbagai kasus yang belum rampung terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Tak hanya sekadar mengakui, Usman menyebut bahwa negara harus mengungkapkan beberapa fakta mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965 dan setelahnya pada musim-musim menjagal. Dan hal itu meliputi identifikasi serta klarifikasi berbagai kejadian serta mengungkapkan kebenarannya kepada publik.
Para eksil korban 1965 pun menurutnya harus diberikan kompensasi yang layak atas trauma historis dan penderitaan yang mereka alami selama mereka tidak bisa pulang ke tanahnya sendiri. di sisi lain, negara juga diminta mempertimbangkan restitusi terhadap harta benda yang ditinggalkan atau dirampas.
Baca Juga: Pemahaman Caleg Terhadap HAM Kurang dan Masih Belibet
Senada, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia menilai bahwa solusi negara seperti memberikan kemudahan visa dan izin tinggal kepada para korban eksil 1965 hanyalah solusi atas permasalahan administrasi tanpa menyentuh ranah substansial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada dasarnya pengakuan tanpa dibarengi dengan permintaan maaf, pertanggungjawaban dan akuntabilitas Negara dalam menyelesaikan kasus, itu hanya semu dan tidak dapat memberikan keadilan bagi korban, kata Jane.
Baca Juga: Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?
Jane menilai bahwa negara wajib mengungkapkan kebenaran melalui pelurusan sejarah dan melakukan rehabilitasi. Dalam hal ini, ujar Jane, negara bisa memainkan peranan dari kewajibannya untuk memelihara ingatan atau state duty to preserve memory sebagai suatu kewajiban. Dan tindakan tersebut juga telah ditegaskan dalam resolusi Majelis Umum PBB Nomor 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada 12 Desember 2001 silam.
Pelurusan sejarah sebagai bagian dari upaya pengungkapan kebenaran turut hadir sebagai manifestasi atas pemenuhan hak atas keadilan antar generasi guna memutus rantai trauma terhadap generasi muda di masa mendatang, termasuk pula upaya memutus akar konflik dan menjamin ketidak-berulangan, terang Jane.
Editor : Pahlevi