Optika.id - Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka kesempatan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto.
Hal tersebut tak pelak membuat publik menggaungkan kembali istilah politik dinasti. Lantas, apa sebenarnya arti politik dinasti dan kondisi saat ini di Indonesia sebagai negara demokrasi?
Baca Juga: Presiden Prabowo akan Hadiri Tanwir dan Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang
Politik Dinasti
Politik dinasti atau dinasti politik merupakan sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti ini juga diidentikkan dengan kerajaan atau monarki yang kekuasaannya diwariskan secara turun temurun dari ayah ke anaknya dan seterusnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut bahwa tren politik kekerabatan ini merupakan gejala neopatrimonialistik yang benihnya sudah lama tertanam dan berakar secara tradisional yakni sistem patrimonial yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis daripada merit system.
Oleh sebab itu, dia menyebut dinasti politik sebagai neopatrimonial lantaran ada unsur patrimonial lama, namun menerapkan strategi baru. yakni, apabila dahulu pewarisan ditunjuk secara langsung, maka sekarang melalui jalur politik procedural. Dia menegaskan bahwa praktik politik dinasti ini juga merusak demokrasi karena kontrol terhadap kekuasaan makin melemah.
Akan tetapi, ironisnya adalah isu dinasti politik beserta risiko yang membayanginya ternyata tidak cukup menarik atensi publik bahkan, publik cenderung permisif. Hal ini bisa dilihat dari hasil riset dan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei di Indonesia.
Misalnya, survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada periode Oktober November 2023 yang menunjukkan bahwa sebanyak 42,9% responden menilai jika politik dinasti adalah hal yang lumrah. Sementara 39,2% sisanya mengaku khawatir dan 9,6% mengaku tidak khawatir serta 8,3% lainnya tidak menjawab.
Sedangkan berdasarkan hasil survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada periode yang sama menunjukkan sebanyak 62% responden yang menjawab tidak tahu ketika ditanya apakah pernah mendengar atau mengerti perihal politik dinasti. Dan 38% lainnya mengaku tahu tentang politik dinasti.
Senada, hasil survei dari Populi Center pada periode Oktober November menunjukkan sebanyak 62,1% responden bersikap menerima dan biasa saja dengan politik dinasti, sedangkan 27,4% lainnya merespons sebaliknya atas fenomena politik dinasti yang sedang mengancam Indonesia saat ini.
Normalisasi Publik Terhadap Politik Dinasti
Baca Juga: Kado Awal Tahun: UMP Naik 6,5 Persen, Kesejahteraan Guru Meningkat Signifikan di 2025
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Telkom, Catur Nugroho menjelaskan bahwa publik tidak peka terhadap politik dinasti dan isu dibaliknya lantaran frasa tersebut cukup sulit untuk dipahami oleh masyarakat awam. Sedangkan faktor lainnya adalah karena sejarah panjang penerapan sistem monarki di Indonesia sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Sejarah politik di Indonesia yang selama berabad-berabad di bawah sistem monarki, menurut saya, juga cukup berpengaruh dalam pemikiran publik. Sehingga, tidak cukup mengganggu ketika ada keluarga atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan secara bersama-bersama atau turun-temurun," tutur Catur, Senin (4/12/2023).
Dinasti politik, sambung Catur, juga jamak dilakukan oleh beberapa elite politik lokal serta nasional sebelum Jokowi. Pasalnya, konstitusi telah membuka ruang kebebasan bagi setiap warga negara untuk maju menjadi pemimpin.
"Sehingga, keluarga bupati, wali kota, gubernur, menteri, hingga presiden memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk bertarung dalam proses pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Suatu hal yang menjadi lumrah dalam sistem demokrasi di Indonesia ketika istri atau suami, anak, adik, dan menantu berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi kekuasaan di level nasional maupun di daerah," ucapnya.
Misalnya dia memberi contoh yakni pada kasus Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membiarkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk memimpin Partai Demokrat. Sementara putra bungsunya, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR.
Baca Juga: Rezim Gemoy Tapi Duit Cupet
Jalur yang dipilih oleh SBY menurut Catur berbeda dengan yang dilakukan oleh Jokowi sekarang. Pasalnya, SBY memilih jalur partai untuk mewariskan power kepada anak-anaknya. Sedangkan langkah yang dipilih Jokowi berbeda karena dirinya memilih jalur eksekutif dengan dukungan pada anak-anaknya serta menantunya menduduki jabatan eksekutif serta partai politik.
Maka dari itu, untuk lebih meningkatkan literasi publik dan mawasnya mereka terhadap isu politik dinasti serta bahayanya, maka dirinya menyarankan untuk dilakukan perubahan frasa dinasti politik atau politik dinasti menjadi politik kekerabatan. Catur menilai jika diksi tersebut bisa membuka cakrawala masyarakat sehingga mereka bisa melek terhadap bahayanya politik dinasti atau kekerabatan tadi.
"Ketika seseorang berkuasa, kemudian keluarga atau orang-orang di lingkaran terdekatnya ikut menjadi bagian kekuasaan atau menggantikan kedudukan keluarga sebelumnya di lembaga eksekutif maupun legislatif, maka politik kekerabatan terjadi," kata Direktur Data Politik Indonesia itu.
Catur juga mendorong elite politik dan media memberikan teladan agar mereka tidak sekadar bermain dengan Bahasa dan wacana saja.
"Melainkan juga harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Pengertian, contoh dan bahayanya apa saja," pungkasnya.
Editor : Pahlevi