Oleh: Rizky Mubarok (Ilmu Komunikasi UINSA)
Optika.id - Kehidupan berdemokrasi di suatu negara salah satunya ditentukan oleh seberapa besar artisipasi politik dari masyarakatnya. Partisipasi itu akan terlihat ketika masyarakat ikut terlibat secara aktif dalam kehidupan berpolitik. Contohnya, ketika pemilihan presiden, kepala daerah, atau saat memilih wakil-wakil mereka yang akanduduk di kursi parlemen, baik di pusat maupun di daerah.
Baca Juga: Debat Capres Terakhir Bikin Rakyat Kena Prank Nasional
Kehadiran media sosial juga mempengaruhi bidang politik.Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa media sosial alat kampanye yang efektif. Sebelum era media sosial, politisi di Negeri Paman Sam ini sudah memanfaatkan internet untuk media berkampanye.
Selain berdampak positif bagi kehidupan masyarakat, media sosial juga memiliki sisi negatif. Kondisi tersebut harus mendapat atensi, khususnya selama tahapan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Terlebih tidak sedikit kontestan pemilu akan memanfaatkan media sosial sebagai sarana berkampanye. Sayangnya, kampanye di mesdia sosial hingga saat ini belum memiliki koridor secara legal formal.
Media sosial juga merupakan media yang paling efektif digunakan oleh buzzer politik. Hampir semua keberhasilan pemasaran baik umum maupun politik jaman sekarang salah satunya karena menggunakan media sosial. Karakteristinya yang unik bisa menjangkau banyak lapisan masyarakat.
Dalam proses berdemokrasi, pastinya terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang turut serta mempengaruhi tinggi-rendahnya tingkat partisipasi politik. Salah satunya adalah anak-anak muda. Mereka adalah kelompok masyarakat yang menurut Pasal Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan didefinisikan sebagai warga Negara Indonesia dalam rentang usia 16 hingga 30 tahun.
Dalam perkembangannya, mereka kemudian disebut sebagai Generasi Z dan Generasi Milenial. Tipikal Generasi Z menuntut kehadiran internet nyaris di sepanjang kesehariannya. Ketergantungan mereka terhadap internetbahkan menyentuh angka 93,9 persen atau biasa disebut sebagai mobile generation. Generasi seperti ini kehidupannya lebih banyak diwarnai dengan keceriaan.Sedangkan Generasi Milenial memiliki ketergantungan dengan internet dan dalam kehidupannya masih berjuang untuk meniti karier.
Dalam dunia politik, anak-anak muda menjadi aset berharga dan menjadi incaran partai-partai politik. Ini dikarenakan Generasi Z dan Generasi Milenial merupakan kekuatan tersendiri yang sudah seharusnya direbut suaranya dalam kontestasi pemilihan, baik itu pemilihan pemimpin Negara, kepala daerah, maupun wakil rakyat.
Penetrasi internet di Indonesia saat ini telah menjangkau hampir 196,7 juta penduduk berdasarkan survey APJII. Kondisi ini membuat partai politik berlomba-lomba menceburkan diri membangun kekuatan baru di ranah digital. Mereka kemudian masuk ke berbagai platform media sosial yang ada demi mendapatkan simpati anak-anak muda melek teknologi.
Penggunaan platform media sosial dalam kepentingan politik cukup terasa manfaatnya bagi para pengkampanye. Teknologi digital ini pun juga memudahkan partai politk dalam menjangkau para kader-kadernya di seluruh negeri.
Marshment (Menon, 2008) menjelaskan bahwa kini pemasaran politik semakin banyak digunakan dalam sistem politik demokratis di mana dukungan massa sangat penting untuk mempertahankan kekuatan. Penguasa militer kini juga menggunakan strategi pemasaran untuk membangun brand image mereka. Pengaruh pemasaran profesional telah mempengaruhi kerja partai politik. Pihak-pihak ini menjadi lebih berorientasi pasar dan mulai membingkai program dan kebijakan mereka selaras dengan jajak pendapat dan survei pasar.
Kemampuan media sosial untuk memengaruhi keputusan politik masyarakat secara masif membuat media ini juga banyak dipakai sebagai media pemasaran politik. Disamping biayanya lebih murah, jangkauan khalayaknya juga bisa lebih jauh untuk memperkenalkan calon pemimpin kepada masyarakat luas.
Media sosial memang menawarkan peluang bagi para aktor politik untuk bisa menjaring pemilih, berinteraksi secara langsung dengan publik sekaligus membentuk perbincangan yang akrab dengan publik. Tetapi di sisi lain, media sosial juga dapat membuat aktor politik menjadi bahan tertawaan atau bahkan caci maki dari publik.
Baca Juga: Ada Topeng Bobrok dalam Pamer Kemesraan di Media Sosial
Pengaruh media sosial dalam dunia politik khususnya dalam hal komunikasi politik, terutama dalam kampanye Pemilu (Chavez, 2012; Riaz, 2010; Stietglitz & Dang-Xuan, 2012).Media sosial selanjutnya menggambarkan sebagai sarana ideal dan basis informasi untuk mengetahui opini publik tentang kebijakan dan posisi politik, selain untuk membangun dukungan komunitas kepada politisi yang tengah berkampanye.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Coutts & Gruman (2005: 254) dalam komunikasi yang termediasi dengan komputer, maka para peserta komunikasi akan mendapatkan kesetaraan partisipasi yang lebih luas daripada tatap muka. Pendapat tersebut memang mengacu pada aktivitas komunikasi dalam organisasi.Namun relevan apabila dibawa ke dalam konteks komunikasi politik di era media sosial. Dengan adanya media sosial, maka para aktor politik pun harus menyadari meskipun dia secara riil adalah pejabat tinggi atau partai politik yang berkuasa, tetapi posisinya di media sosial akansetara dengan user lain.
Banyaknya keuntungan yang ditawarkan dalam pengunaan media sosial sebagai ajang branding tokoh politik, juga tidak boleh lepas dari beberapa kunci penting yang harus tetap diperhatikan. Dikarenakan media sosial termasuk sebagai salah satu alat untuk berkomunikasi dengan audience serta calon pemilihnya, maka sisi komunikasi harus selalu terlibatdidalamnya. Dalam hal ini, variabel yang dibutuhkan adalah pesan yang ingin di sampaikan kepada khalayak harus sesuai dengan target yang ingin dicapai.
Di era interaktif digital inilah, produksi pesan dan citra politik justru menjadi hal yang rawan untuk "diganggu".Pelaku politik harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa pesan-pesan mereka akan dimodifikasi oleh pihak lain ketika pesan tersebut disampaikan melalui media sosial. Lingkungan media digital menjadi tidak menghargai integritas informasi ketika informasi itu sudah dipublikasikan secara online, maka siapa pun bebas untuk memodifikasinya.
Para pengguna internet tak tertarik untuk mencari rekam jejak atau program yang ditawarkan oleh politisi. Namun sebaliknya, ada kecenderungan di masa kampanye Pemilu, internet justru digunakan untuk menghujat politisi dan menyerang politisi yang tidak disukai.
Kampanye melalui media sosial bagi peserta pemilu menjadicara memperkenalkan diri paling mudah dan murah. Selain berdampak positif bagi kehidupan masyarakat, tentu media sosial tidak terlepas dari polemik sisi negatif.
Kondisi tersebut harus mendapat atensi, khususnya selama tahapan pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang.Terlebih tidak sedikit kontestan pemilu akan memanfaatkan media sosial sebagai sarana berkampanye. Sayangnya, kampanye di media sosial hingga saat ini belum memiliki koridor secara legal formal.
Baca Juga: Iklan Pemilu di Medsos Susah Diaudit Transparansinya, Dana dari Mana?
Kampanye di media sosial juga mampu menyegmentasi calon pemilih atau konstituen. Penyelenggara pemilu juga memanfaatkan media sosial untuk penyebaran informasi penyelenggaraan pemilu. Sehingga penyebarannya, mendapatkan jangkauan yang jauh lebih luas.
Sebagai bentuk kenyamanan yang baik terhadap masyarakatnya, tentu sebagai penyelenggara pemilu penting untuk memberikan literasi yang berkesinambungan kepada masyarakat. Tujuannya agar kampanye melalui media sosial tidak menimbulkan dampak destruktif bagi tahapan Pemilu 2024. Hal ini guna sebagai pemilah, apakah informasi yang disajikan itu benar, dari media yang benar, atau black campaign yang dilakukan oleh seseorang.
Peran yang bisa diambil oleh platform media sosial ialah membuka data seluruh iklan politik di Indonesia sejak ditetapkannya partai politik peserta Pemilu 2024, yakni 14 Desember 2022. Data tersebut penting untuk disampaikan kepada publik, sebagai bentuk transparansi iklan politik yang memiliki dampak terhadap Pemilu 2024. Dari platform Meta, Twitter Youtube/Google, dan Tiktok, hanya Meta yang mengizinkan adanya iklan politik di Facebook. Sejak 2020, Meta menyediakan Facebook Ads Library untuk mentransparansi iklan yang beredar di platform Meta.
Penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) juga didorong untuk menata kampanye politik di media sosial, melalui aturan spesifik untuk mengantisipasi munculnya ekses negative selama kegiatan demokrasi berlangsung. Selain itu juga bisa lebih merata, tidak terlalu fanatic ke salah satu kubu. Langkah baiknya ialah lebih menonjolkan ke hal yang positif dari calonnya masing-masing. Jangan memblow up secara berlebihan, hal itu tentu karena semua orang memiliki keburukan dan kelebihan tersendiri.
Tak hanya itu, tim sukses diharapkan bisa bijak dalam menggunakan media sosial agar informasi yang disebarkan ke masyarakat tidak mengandung hal yang negative terlebih lagi hoax. Perlu adanya keseimbangan juga bagi masyarakat, untuk bisa selektif dalam menerima informasi yang tidak benar. Begitupun juga pada calon peserta Pemilu baik calon Legislatif maupun Calon Presiden, Wakil Presiden agar berkampanye secara positif.
Tantangan Pemilu Indonesia 2024 tidak hanya bagaimana merekayasa agar media sosial menjadi ruang publik yang sehat demokrasi dan tidak mendisrupsi informasi bagi pemilih, tetapi juga menguatkan regulasi pelaporan danakampanye di ruang digital, dan mendorong transparansi iklan politik oleh platform media sosial.
Editor : Pahlevi