Arah Oposisi Demi Demokrasi Setelah Lengsernya Jokowi

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 20 Feb 2024 14:04 WIB

Arah Oposisi Demi Demokrasi Setelah Lengsernya Jokowi

Surabaya (optika.id) - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, langsung menyebarkan siaran pers tak lama setelah hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei menunjukkan keunggulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres cawapres) nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024. Dalam keterangan tersebut, Hasto menegaskan bahwa PDIP siap menjadi oposisi pemerintahan.

"Ketika PDI-Perjuangan berada di luar pemerintahan tahun 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan itu suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri," kata Hasto, Kamis (15/2/2024) lalu.

Baca Juga: Presiden Prabowo akan Hadiri Tanwir dan Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang

PDIP mengusung pasanan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Ganjar-Mahfud). Berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan tersebut mendapatkan suara yang paling bontot dan hanya meraup suara pada kisaran 16 18%. Sementara pasangan Prabowo-Gibran mendominasi dengan ruapan suara kisaran 55 59%. Disusul oleh pasangan Anies Baswedan Muhaimin Iskandar (AMIN) pada kisaran 24 26%.

Selain PDIP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) salah satu parpol pengusung pasangan AMIN juga menyatakan untuk siap menjadi oposisi. Mardani Ali Sera selaku ketua DPP PKS menyebut jika rekonsiliasi pasca pilpres tidak harus berarti para parpol tergabung dengan kubu Prabowo-Gibran di pemerintahan.

"Membangun oposisi yang sehat, itu juga bagian dari rekonsiliasi. Jadi rekonsiliasi tidak bermakna bahwa pasangan 01 (AMIN) bergabung dengan 02 (Prabowo-Gibran) karena proposalnya beda," ujar Mardani kepada wartawan di Jakarta.

Melihat hal tersebut, Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil berharap bahwa para parpol yang jagoannya kalah di Pilpres 2024 tidak serta merta tergoda untuk bergabung dengan koalisi parpol pengusung Prabowo-Gibran. Dia menilai, demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kuat di parlemen.

"Jokowi di periode kedua ini memang cenderung ugal- ugalan. Tiada memperhatikan etika politik. Saya kira ini terjadi salah satunya karena demokrasi berjalan tidak sesuai dengan standar. Semakin ke sini demokrasi semakin mirip Orde Baru," ucap Sukron kepada Optika.id, Selasa (20/2/2024)

Ketiadaan oposisi yang tanggung di masa pemerintahan mendatang, kata Sukron, bisa membahayakan demokrasi Indonesia. Apalagi, secara terang-terangan Jokowi makin menunjukkan tabiatnya sebagai pemimpin yang otoriter. Salah satunya adalah dengan menggelar karpet merah bagi putra sulungnya, Gibran, untuk meneruskan pemerintahannya.

"Jangan sampai mereka malah tergoda masuk ke pemerintahan sebab oposisi yang kuat itu partai, bukan dari LSM. Saya berharap PDI-P yang akan menguasai parlemen harusnya menjadi oposisi bersama  partai- partai yang mengusung Anies-Muhaimin. Ini penting untuk check and balance agar ada manfaat dari demokrasi yang maksimal," ujar Sukron.

Baca Juga: Kado Awal Tahun: UMP Naik 6,5 Persen, Kesejahteraan Guru Meningkat Signifikan di 2025

Oleh sebab itu, kehadiran oposisi yang kuat sangat penting untuk memastikan legislasi-legislasi bermasalah tidak lolos di parlemen. Misalnya, mulusnya revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja pada periode kedua pemerintahan Jokowi lantaran kubu oposisi di DPR hanya diisi oleh PKS.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Padahal, rakyat semakin sulit bekerja. Saya kira pihak yang kalah harus jadi oposisi demi kemaslahatan rakyat dan demokrasi. Demokrasi itu bukan sesuatu yang jahat dan tidak perlu dianggap pengganggu. Percayalah, kalau ada oposisi, demokrasi akan lebih stabil," kata Sukron. 

Lain dengan Sukron, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menilai tidak semua parpol yang jagoannya kalah di Pilpres 2024 bakal bergabung di kubu oposisi.

Di sisi lain, dia juga berharap parpol-parpol yang memutuskan menjadi oposisi nantinya tidak asal menentang program Prabowo-Gibran. Menurutnya, perlu ada kesepakatan di antara semua parpol perihal arah pembangunan ke depannya usai Jokowi lengser.

Baca Juga: Rezim Gemoy Tapi Duit Cupet

"Jadi, harus ada rekonsiliasi dan pembicaraan dari para parpol terkait ke depan seperti apa. Ini supaya pembangunan juga jelas dan masyarakat tidak jadi korban," ucap Cecep, Selasa (20/2/2024).

Meskipun demikian, dirinya sepakat pemerintahan memerlukan oposisi yang kuat. Dengan demikian, fungsi-fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi bisa berjalan secara optimal tanpa dikendalikan seenaknya oleh pemerintah.

"Namun, oposisi ini harus objektif. Program pemerintah ke depan yang memang bagus harus katakan bagus. Kalau memang tidak bagus, silakan dikritik," ungkapnya.

 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU