Komaruddin Hidayat: Saat Ini Banyak Terjadi Pergeseran Kekuasaan!

author Danny

- Pewarta

Minggu, 17 Mar 2024 10:34 WIB

Komaruddin Hidayat: Saat Ini Banyak Terjadi Pergeseran Kekuasaan!

Surabaya (optika.id) - Eks Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat menyentil terjadinya pergeseran kekuasaan dan pergeseran mana rakyat. Dalam konteks sekarang, rakyat sudah berbeda fungsinya dibanding pada masa pra-kemerdekaan atau masa kemerdekaan. Tentara pada zaman dulu, benar-benar anak kandung rakyat dan dari rahim masyarakat. Ia kemudian mengingat perjuangan ayah semasa menjadi gerilyawan yang menyatu dengan rakyat. 

"Menjadi petani untuk mengelabui Jepang, fenomena militer terjadi tarik tambang. Satu sisi ingin kembali netral tetapi sebagian yang lain adalah menjadi perpanjangan tangan dan juga partai politik. Pemimpin memang berakar pada hati rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan, kesultanan dinasti sejak Aceh sampai dinasti rela korbankan privilege demi negara Republik," ujar Komaruddin kepada Optika.id, dalam diskusi Forum Insan Cita melalui kanal YouTube, Minggu, (17/3/2024). 

Baca Juga: Peneliti Ilmu Hukum Tegaskan Prabowo Pernah Bicara Tak Mau Terlalu Dekat dengan China

Sekarang, rakyat dibeli oleh Partai Politik. Saat ini partai adalah sebuah perusahaan politik, yang mana mereka (partai) membutuhkan modal. Kemudian, jabatan resmi perpanjangan tangan dari pemerintah, dulu menjadi pemimpin berkorban. Kalau sekarang menjadi pemimpin itu dimanja dengan adanya pengawalan. Sebab, seorang pemimpin formal berbuat baik pahalanya banyak, tapi kalau mereka khianat dosanya banyak sekali. 

"Sekarang ini, karena konsep beralih pada negara dan negara punya legalitas dan power. Dia kendalikan kekuasaan dengan dalih undang-undang. Pemerintah ada operatornya, para business man, jadilah deviasi. Bahkan rakyat dan negara mestinya dijembatani oleh partai politik dan pemerintah. Tapi sekarang pejabat itu bergantung keatas, bukan kebawah," tegas dia. 

Baca Juga: Dewi Fortuna Anwar: Prabowo Belum Jadi Presiden Tapi Sudah Menerima Undangan Negara Luar

Cita-cita ideal di era reformasi ternyata kandas. Dalam konteks pemilihan kepala daerah, setiap daerah diharuskan untuk memilih calon putra/putri terbaiknya agar daerah tidak melakukan korupsi, tidak berbuat seenaknya. Akan tetapi, langkah ini ternyata sudah hilang. Ketika kekuasaan beralih keatas, kalau uu terjadi maka dia bisa menutupi kekurangan perangkap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Bayangkan ketika peraturan perundang-undangan lemah, kelemahan itu dikendalikan pilot lemah dan terjerat dengan utang, belum lagi ada kekuatan luar entah partai atau apapun itu. Sehingga ada satu cita-cita dan imajinasi demokrasi kemudian kandas di tengah jalan, makanya kalau kemarin atau di pusat menggulirkan isu dinasti tidak heran karena banyak Pilkada sudah seperti itu," jelasnya. 

Baca Juga: Zainal Arifin Mochtar Sebut MK Sulit Kabulkan PHPU!

Di Indonesia ada istilah bobot, bibit, bebet. Yang berarti ketika anak Bupati mencalonkan diri untuk melanjutkan kepemimpinan orang tua, itu mendapatkan applouse dari masyarakat. Indonesia, ibarat tanah belum siap ditanami bibit yang demokrasi dan substansial, juga tradisi petani dan keagamaan lalu militer belum lagi penduduk yang banyak. 

"Demokrasi yang dibicarakan itu jauh sekali, terjadi anomali saat ditetapkan. Ketika pemilihan langsung belum ada pengalaman, pertama SBY kedua Jokowi. Dengan biaya mahal tapi pelaksanaannya tidak jelas, ini membuat semuanya absurd terjadi kecurangan itu hal wajar. Bisa dipahami, terjadi sekarang satu diskusi antara mereka yang punya power suara. Dalam konteks pergulatan kekuasaan yang menang adalah legal, walaupun itu minus moral," pungkasnya. 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU