Kemana Prabowo Bakal Bawa Demokrasi Indonesia?

author Pahlevi

- Pewarta

Senin, 25 Mar 2024 12:54 WIB

Kemana Prabowo Bakal Bawa Demokrasi Indonesia?

i

Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto(AFP/Yasuyoshi Chiba)

Surabaya, Optika.id - Sinyal kuat arah demokrasi Indonesia ke depan telah dilontarkan oleh Prabowo Subianto (PS), Menteri Pertahanan dan calon presiden terpilih dalam pemilu 2024.

PS bersaksi, berdasarkan testimoninya, bahwa sistem demokrasi di Indonesia sangat melelahkan, berantakan dan mahal. Pernyataan itu dilontarkan dalam sambutannya di Mandiri Investment Forum 2024, Selasa, 5 Maret 2024, di Hotel Fairmont, Jakarta.

Baca Juga: Haedar Nashir Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, Majukan Negara Indonesia

Testimoni PS didasarkan atas lima kali ikut dalam Pemilu. "Saya berpartisipasi dalam lima pemilihan umum. Dan izinkan saya bersaksi, demokrasi itu benar-benar sangat melelahkan. Demokrasi sangat, sangat kacau, demokrasi sangat, sangat mahal."

PS mengisahkan pernah terlibat dalam pemilu. Pertama kali terlibat pada 2004 saat dia mengikuti konvensi capres yang diadakan Partai Golkar. Dia gagal sebagai kandidat, baik sebagai capres (calon presiden) maupun cawapres. Kemudian pada pilpres 2009, dia menjadi cawapres berpasangan dengan Megawati. Gagal dan kalah oleh SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)

Kali ketiga pada Pilpres 2014, Prabowo capres berpasangan dengan Hatta Rajasa. Gagal pula. Kali keempat pada Pilpres 2019, Prabowo capres berpasangan dengan Sandiaga Uno. Kalah oleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kali kelima pada Pilpres 2024, Prabowo capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi. Kali ini dia berhasil, menang.

Apakah makna testimoni dan simpulan PS tentang demokrasi Indonesia itu? Apakah mengarah pada perubahan demokrasi di bawah kekuasaannya? Dia katakan "Dan kita masih belum puas dengan demokrasi kita. Ada banyak ruang untuk perbaikan," tegasnya, tempodotco, 05/03/2024.

Lalu ke mana arah demokrasi Indonesia ke depan di bawah kekuasaan Prabowo-Gibran?

Memutar Balik ke Otoritarian?

Pada 3 Juli 2014 IndoProgerss memuat artikel Edward Aspinall yang berjudul Prabowo dan Bahaya Terhadap Demokrasi Indonesia. Artikel itu sebelumnya pernah dimuat di laman New Mandala, dengan judul Demokrasi Indonesia Dalam Bahaya.

Menurut Aspinall, PS berjanji akan menghormati proses demokrasi Indonesia. Namun, berkaca dari sejarah pribadi Prabowo, retorika dan gaya kepemimpinannya selama ini, pemerintahan Prabowo memiliki potensi besar untuk mengembalikan Indonesia ke arah pemerintahan otoritarian.

Aspinall menilai ada tiga hal yang membedakan Prabowo dengan politisi-politisi Indonesia pada umumnya. Pertama, inti pesan yang ingin disampaikan dalam berbagai pidato atau kampanye. Prabowo mempromosikan, dengan gaya sangat dramatis, gabungan antara tema nasionalisme dan populisme yang sering digunakan oleh politisi demagog di seluruh dunia.

Dalam setiap kampanye, Prabowo selalu menekankan tema nasionalisme. Indonesia memiliki kekayaan alam yang dieksploitasi sekian lama oleh bangsa lain sehingga menjadikan rakyat sebagai ‘kacung’ di negeri sendiri. Kekayaan Indonesia selalu diisap untuk kepentingan bangsa asing dan sekaranglah saatnya, untuk berdiri di atas kaki sendiri, lalu mengembalikan kehormatan dan kedaulatan bangsa, begitu Prabowo berpidato,.

Menurut Aspinall, PS juga berbicara panjang lebar tentang kesulitan yang dihadapi kaum miskin dan bagaimana mereka menderita akibat dari korupsi, neoliberalisme, neokapitalisme, pengaruh asing dan penyakit-penyakit lainnya. Kekayaan Indonesia telah dicuri dari rakyat Indonesia; dan sudah saatnya untuk mengambilnya kembali dan dinikmati oleh rakyat Indonesia.

Daya Tarik kedua adalah semangat berapi-api–kadang penuh amarah—dari cara Prabowo menyampaikan pesan dalam pidatonya. (Dalam pilpres 2024, Prabowo telah dikemas menjadi figur gemoy, santui, dan sabar. Prabowo berjoget dan diposterkan boneka lucu ala boneka generasi Z).

Perbedaan ketiga terletak pada janji penyelesaian terhadap semua persoalan bangsa, yaitu dengan kepemimpinan yang ‘tegas’ dan ‘kuat.’ Bahkan, kita bisa menyebut bahwa janji kepemimpinan yang tegas dan kuat tidak hanya menjadi sentral, bahkan menjadi satu-satunya poin paling penting dalam program politik dan strategi pemerintahan Prabowo.

Dalam analisis terbaru sejarawan University of British Columbia, John Roosa, dideskripsikan sebagai, ‘Dalam benak Prabowo, semua yang berkaitan dengan negara–kualitas sistem ekonomi, budaya, dan pijakan internasional—bergantung sepenuhnya kepada ‘faktor kepemimpinan’. Satu-satunya solusi dari seluruh masalah bangsa adalah ‘kepemimpinan nasional yang kuat.

Alasan paling nyata adalah masa lalu otoritarian Prabowo dan rekam jejaknya dalam pelanggaran hak asasi manusia. Kritik dari masyarakat sipil di Indonesia berfokus pada hal ini dan Prabowo menjadi marah dalam Debat Calon Presiden pertama saat calon wakil presiden Jokowi, Jusuf Kalla berusaha memancingnya dalam isu hak asasi manusia.

Kembali ke UUD 1945 Sebelum Amandemen?

Aspinall menduga PS mempunyai program yang dianggapnya tidak demokratis yaitu ingin kembali kepada UUD 1945 yang ‘asli’ lahir pada 18 Agustus 1945. Dengan kata lain, dia ingin kembali kepada konstitusi yang memberikan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden dan menghilangkan seluruh institusi demokrasi dan kontrol yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, sebagian besar dihasilkan dari empat kali amandemen yang dilakukan sejak 1998.

PS juga sering menegaskan bahwa demokrasi, atau paling tidak versi demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia, adalah sumber utama korupsi dan penyakit bangsa lainnya. Dalam Debat Capres Pertama (2014), Prabowo mengkritik demokrasi ‘destruktif’ dan mengatakan bahwa dia ingin membangun demokrasi yang ‘produktif’. Selain itu, dalam reuni purnawirawan tentara beberapa waktu lalu (2014), dia mengatakan bahwa demokrasi telah ‘membuat kita capai’.

Simpulan Aspinall tentang bahaya rezim PS akan datang adalah terletak pada kombinasi antara tekanan Prabowo terhadap prinsip kepemimpinan tegas dan apa yang kita ketahui tentang personalitasnya. Sangat jelas terlihat bahwa Prabowo memosisikan dirinya sebagai solusi dari seluruh permasalahan bangsa dan percaya bahwa mewujudkan keinginannya sebagai presiden adalah kunci untuk menciptakan kejayaan nasional.

Pada saat yang sama, pernyataan publiknya yang sering menghujat musuh—yang tidak dia sebut namanya—mengandung ancaman implisit pada aktor politik lain. Ditambah lagi, kecenderungan pribadi yang mudah tersulut amarah yang dapat berubah menjadi murka saat tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.

Karena itu Aspinall mempunyai alasan kuat untuk memprediksi bahwa Prabowo akan menjadi presiden yang tidak sabar terhadap prosedur demokratis dan penghukum keras terhadap lawan-lawan politiknya.

Baca Juga: Jadi Presiden Terpilih, Prabowo: Rakyat Butuh Pilihan

Demokrasi Rapuh

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Aspinall dukungan terhadap PS bermula dari rapuhnya demokrasi Indonesia. Ada tiga area sebagai penjelas dukungan terhadap PS. Pertama adalah masih kuatnya ‘transitional justice’ yaitu tugas untuk menginvestigasi dan menghukum pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Indonesia gagal total dalam menangani masalah ini.

Kedua adalah korupsi politik yang tidak hanya luas, tetapi juga mendalam. Selama sekian tahun, hampir setiap hari, di semua koran besar di Indonesia dan tersinggung dengan berita tentang korupsi dana haji, skandal impor sapi, korupsi tanah, penyelundupan bahan bakar minyak, korupsi alat kesehatan, mark up buku teks, penggelembungan proyek bangunan rumah sakit atau gedung olahraga–apa pun bisa dikorupsi di Indonesia.

Mereka yang terlibat termasuk yang tertinggi dari kementrian sampai yang terendah pejabat daerah dan pegawai negeri sipil. Walaupun sebenarnya, liputan media yang masif sejatinya adalah tanda berlangsungnya perang melawan korupsi. Namun, dapat dimaklumi jika rakyat Indonesia akan mudah percaya bahwa demokrasi telah melahirkan sistem politik saat apa saja dan siapa saja bisa dibeli, seperti yang berulang kali diucapkan Prabowo.

Ketiga, semakin kuatnya gaya politik transaksional yang telah menjadi bagian sentral dalam demokrasi Indonesia. Lebih nyata dibandingkan yang banyak terjadi di negara lain, institusi politik formal di Indonesia bercirikan, apa yang disebut ilmuwan politik dari Amerika Serikat, Dan Slater sebagai ‘promiscuous power sharing’ (PPS).

Promiscuous power sharing adalah kecenderungan partai yang memiliki basis ideologi dan basis sosial yang berbeda untuk menyingkirkan perbedaan yang mereka miliki guna memperoleh akses bersama terhadap patronase sumber daya yang ditawarkan oleh pemerintah.

Dalam politik Indonesia, sepertinya tidak ada aliansi politik yang dibangun berdasarkan prinsip atau kebijakan yang sama; sebaliknya, semua tergantung pada negoisasi dan deal politik. Sebagian besar kabinet yang dibangun setelah Suharto jatuh berbentuk ‘kabinet pelangi’ saat hampir semua partai besar terwakili.

Sistem ini membantu PS memunculkan kekecewaan publik seperti yang selama ini dihujatnya, tetapi pada saat yang sama membantu ia mewujudkan koalisi politiknya. (Sistem ini dibangun oleh Presiden Joko Widodo/Jokowi sejak 2019. Model PPS ini tampaknya dipaksakan oleh Jokowi kepada PS)

Media dan Pengamat Asing Soroti Prabowo

Media Singapura juga menyoroti kemungkinan rezime PS ke depan. Channel News Asia menulis analisis tentang nasib demokrasi Indonesia di masa depan. Channel News Asia memaparkan pendapat pengamat kajian politik dan keamanan internasional dari Universitas Murdoch, Australia, Ian Wilson.

Wilson menulis soal Prabowo dan demokrasi di Indonesia dalam opini berjudul "An Election to End All Election?" Artikelnya pertama kali dirilis di situs Fulcrum pada Selasa, 31 Januari 2024. Situs ini terafiliasi dengan lembaga think tank ISEAS, Yusof Ishak Institute.

Baca Juga: Ucapkan Selamat, Anies Ingatkan Rekomendasi Hakim MK ke Prabowo

Wilson mengawali tulisannya dengan mengutip percakapan antara Anies Baswedan dan Prabowo Subianto saat debat calon presiden pertama pada 12 Desember 2023.

Anies mengatakan bahwa masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi di Indonesia. Prabowo menanggapi dengan penuh semangat. “Jika demokrasi gagal, maka hal itu akan terjadi. mustahil bagimu untuk menjadi gubernur!” kata Prabowo

Menurut Wilson, meskipun beberapa pihak menafsirkan pernyataan Prabowo sebagai pembelaan terhadap sistem pemilu di Indonesia, namun sejak lama menteri pertahanan ini menolak pemilu langsung karena disebut produk impor.

"Dengan latar belakang kemunduran demokrasi di bawah pemerintahan Joko Widodo, situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana demokrasi elektoral akan berjalan di bawah kepemimpinan Prabowo," ungkap Wilson.

Ia menulis bahwa Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo, menolak apa yang diklaim sebagai arah reformasi liberal-demokratis setelah 1998. Gerindra menganjurkan Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli.

"Hal ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999 hingga 2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun)," ujar Wilson.

Wilson mengingatkan bahwa PS pernah memimpin koalisi parlemen multi-partai pada 2014 yang mengesahkan RUU Pemilu yang mengembalikan situasi sebelum 2005. Kepala daerah termasuk gubernur diangkat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, termasuk intervensi presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, akhirnya RUU itu dibatalkan. SBY, pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya, mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan upaya kudeta legislatif tersebut.

Munculnya EAR

PS susah menjiplak pemerintahan Orde Baru Suharto, untuk mewujudkan rezim otoritarian. Namun, salah satu tren global dalam beberapa dekade terakhir adalah kemunculan apa yang disebut sebagai rezim elektoral otoritarian (electoral authoritarian regime/EAR): sebuah sistem saat pemilu tetap berlangsung, tetapi kebebasan sipil dan partisipasi demokratis dimanipulasi untuk memungkinkan elite untuk terus-menerus berkuasa.

Rasanya pemilu 2024 telah membawa Indonesia pada model EAR.

Tulisan: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU