Pelanggaran Berat Pemilu, Ada Intervensi Menteri Saat Putusan Gibran?

author Danny

- Pewarta

Minggu, 31 Mar 2024 09:40 WIB

Pelanggaran Berat Pemilu, Ada Intervensi Menteri Saat Putusan Gibran?

Surabaya (optika.id) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Muchamad Ali Safa'at mengatakan putusan MK tentang perselisihan hasil termasuk Pemilihan Kepala Daerah, Gubernur dan Walikota. Di dalam UU, ada yang disebut TSM (terstruktur, sistematis dan masif). Pelanggaran berat pemilu ini dimaksud pelanggaran yang memiliki dampak besar berupa pembatalan calon atau diskualifikasi. 

"Ada tindak pidana TSM itu, tapi sifatnya terbatas, terkait politik uang, dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum. Itu dilakukan secara struktur sistematis dan masif, ada pelanggaran tata cara prosedur dan mekanisme yang dilakukan secara TSM pula. Dilakukan oleh aparat struktural secara kolektif baik penyelenggara maupun aparat pemerintahan," kata Ali Safa'at kepada Optika.id, Minggu, (31/3/2024). 

Baca Juga: Puan Soal Pemilu: Apa Rakyat Bisa Memilih Tanpa Dipaksa?

Kemudian, masif memiliki dampak luas dan berpengaruh terhadap hasil. Pelanggaran itu memiliki hasil luas terhadap pemilihan umum sehingga ada korelasi pelanggaran tersebut dengan adanya hasil. Ini yang dialami paslon 01 dan 03 ke MK. Ali juga mengungkapkan ada Pelanggaran TSM yang dirinci, yaitu di Kabupaten Merauke, Tanjung Balai dan Pandeglan. 

"Pelanggaran serius dan signifikan ada, seperti Kepala Daerah di Timor Tengah Selatan, Tapanuli, Nias Selatan dan Waringin Barat. Bagaimana Pemilu 2024, ini juga menjadi perspektif kita bersama. Di dalam pemohonan, sebetulnya isinya adalah sudah menjadi common sense. Rentetannya mulai dari aural presiden 3 periode sampai dari pelaksanaan pemilihan yang disertai fakta dan keputusan yang itu legal tetapi kita mengetahui sadar atau dibawah sadar ada orientasi tertentu yang hendak dicapai," tegas dia. 

Terstruktur, kata dia, termasuk pergerakan aktor yang bersama secara kolektif terlibat dan melibatkan Anggota DPR, Presiden, Hakim MK, Menteri-menteri, Penyelenggara, Aparat keamanan, Penjabat Kepala Daerah dan Kepala Desa. Di awal, adalah lolosnya partai politik tertentu yang sebetulnya tidak memenuhi syarat tetapi kemudian bisa hampir memenuhi syarat.

"Aparat keamanan yang paling banyak adalah penggunaan data intelejen, sudah ada di dalam permohonan itu dilakukan secara sistematis, tidak hanya satu, tetapi mulai dari pembentukan aturan, perubahan aturan baik dalam bentuk UU, keputusan pengadilan, kebijakan dan tindakan konkrit. Kebijakan Bansos, untuk memenuhi tuntutan Kepala Desa segera RUU Desa disahkan," terangnya. 

Baca Juga: Johanes Herlijanto Pertanyakan Kapasitas Prabowo Berkunjung ke China

Itu bisa dilihat dari Sistematis, jika dilihat dari sisi masif adanya dampak luas terhadap independensi MK, netralitas ASN, netralitas Kepala Desa, netralitas polri dan lain sebagainya. Menurut Ali, itu sudah menjadi pemahaman bersama, baik permohonan nomor 01 maupun nomor 03. Permohonan tertulis 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Terpenting, bagaimana hasil itu terindikasi TSM, hanya saja perlu kemudian ditekankan lagi sehingga bukan diketahui khalayak dan kemudian sangat mudah, misalnya pencalonan Gibran menyebabkan nepotisme, tetapi ada peran Menteri tertentu disitu, akan sangat kuat ketika dalam proses pembuktian, menterinya siapa dan apa intervensi yang dilakukan," tegasnya. 

Lebih lanjut, perlu ditekankan pembuktian bahwa apa yang terjadi di Bansos 2003 dan 2004, adalah satu anomali yang berbeda dengan prosedur norma. Ada penambahan anggaran, bagaimana itu dapat dilakukan mekanismenya, entah dengan menggunakan perubahan APBN dan lain-lain. Di dalam permohonan misalnya, ada korelasi antara waktu dan tempat Bansos itu diberikan terhadap kondisi suara pasangan calon 02 dari survei tertentu. 

Baca Juga: Bambang Cipto: Pemilu dan Campur Tangan Asing

"Perubahan yang terjadi pada elektabilitas pasangan 02 setelah Bansos diturunkan, apakah memang perubahan lokasi dan tempat itu ada anomali atau tidak, itu harus didasarkan pada data, kapan dilakukan dan pada analisis yang sebelumnya pernah dilakukan. Kemudian mengumpulkan para pimpinan partai politik, Presiden menggunakan data intelejen, sebenarnya untuk apa misalnya menyandera partai politik untuk tidak menggunakan dukungan, pengarahan Kepala Desa," pungkas dia. 

Dalam konteks PHPU dan peradilan secara umum dan mendapatkan perhatian publik terkait pilihan tertentu. MK dan Hakim MK pasti menentukan, ketika berbicara mekanisme Hakim saat memutus sebagai individu Hakim maupun Majelis. Hakim belum punya pendapat apa-apa, dan diperoleh bukti dan keyakinan yang kuat. Menganalisis dampak dan putusan, ini dianalisis manfaat dengan mudhorot. Ketika diputuskan A seperti apa, dan ketika dibiarkan atau akan merusak secara hukum?

"Itu juga tidak mudah dilakukan, antara putusan dengan keyakinan dengan bukti, semua orang bisa merasakan, mana yang dahulu mana yang terakhir. Sehingga terjadi suatu proses pengambilan sudah dibayang-bayangi oleh kekhawatiran tertentu dari akibat putusan itu. Contohnya, berani apa tidak MK memutuskan mendiskualifikasi, pemilu ulang atau cawapresnya saja diskualifikasi," tambah Ali yang juga Dosen dari Universitas Brawijaya itu. 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU