Atas Nama Toleransi Menghina Agama

author Pahlevi

- Pewarta

Minggu, 28 Jul 2024 08:17 WIB

Atas Nama Toleransi Menghina Agama

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Surabaya (optika.id) - Jangan meininggal dunia dulu sebelum melihat kota Paris begitu kalimat yang  pernah saya dengar. Ini menunjukkan betapa cantik dan indahnya kota Paris ibukota Perancis itu. Kota dengan bangunan-bangunan tua yang kokoh dan megah tidak berubah sejak tahun 1860 an dan yang berusia ratusan tahun itu menjadi pusat budaya, fashion, arsitektur gedung- gedung tua dengan taman-taman yang indah, tempat produk-produk bermerek dunia, kota yang romantis dsb. Saya pernah beberapa kali mengunjungi kota ini melihat melihat Menara Eifel yang terkenal, menyusuri jalan-jalan di daerah Champ Elysees tempat mangkalnya para selebriti dunia minum kopi di café-café yang berada disepanjang jalan, mengunjungi musium Lovre, naik kereta api bawah tanah yang padat menuju wilayah kota modern, duduk-duduk di taman yang penuh bunga didepan menara Eifel, menikmati pemandangan kota Paris lewat sungai Seine dsb. Saya akui memang indah kota Paris ini.

Baca Juga: Media Asing Soroti Pergantian Menteri Saat Masa Jabatan Kurang 2 Bulan

Namun keindahan Paris yang terkenal itu tercoreng dengan acara pembukaan Olimpiade pada tanggal 26 Juli 2024 malam waktu setempat karena acaranya ada yang menyinggung perasaan ummat Nasrani terutama Katolik, malah ada yang menyebutnya disgusting atau menjijikkan.

Kemarahan mereka itu muncul setelah acara pembukaan Olimpiade itu menampilkan sebuah parodi lukisan dinding terkenal Leonardo Da Vinci 'The Last Supper' yang menampilkan drag queen dalam upacara pembukaan Olimpiade di Paris itu. Drag queen adalah istilah yang menggambarkan seseorang, biasanya laki-laki, yang menggunakan pakaian drag dan riasan untuk meniru dan sering melebih-lebihkan penanda gender perempuan dan peran gender untuk tujuan hiburan. Secara historis, drag queen biasanya adalah pria gay, dan telah menjadi bagian dari budaya gay.

Baca Juga: Musuh Bersama Itu Anies Baswedan

Tentu acara seperti itu memicu kemarahan di antara gereja Katolik dan politisi sayap kanan, sementara para pendukungnya memuji pesan toleransinya. Parodi itu menceritakan kembali adegan Alkitab yang terkenal tentang Yesus Kristus dan dua belas rasulnya berbagi acara perjamuan makan terakhir sebelum penyaliban. Tetapi kisah Yesus dalam perjamuan makan terakhir itu diganti dengan sekelompok ratu drag atau drag queen, model transgender dan penyanyi telanjang yang dibuat sebagai dewa anggur Yunani Dionysus.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Gereja Katolik di Prancis mengkritik segmen tersebut."Upacara ini sayangnya mencakup adegan ejekan dan ejekan terhadap agama Kristen, yang sangat kami sesalkan," kata Konferensi Para Uskup Prancis dalam sebuah pernyataan. Politisi sayap kanan di Prancis dan di tempat lain turun ke media sosial untuk mengungkapkan rasa jijik mereka. "Kepada semua orang Kristen di dunia yang menonton upacara #Paris2024 dan merasa terhinaoleh parodi ratu drag dari Perjamuan Terakhir ini, ketahuilah bahwa bukan Prancis yang berbicara tetapi minoritas sayap kiri yang siap untuk provokasi apa pun," kata politisi sayap kanan Marion Marechal dalam sebuah posting di X. Rekannya dari Italia, Matteo Salvini, menambahkan: "Membuka Olimpiade dengan menghina miliaran orang Kristen di dunia benar-benar awal yang sangat buruk, Prancis sayang. Kotor." Miliarder Amerika Elon Musk juga mengatakan itu "sangat tidak menghormati orang Kristen".

Baca Juga: There Is No Free Lunch

Prancis, meskipun bangga dengan warisan Katoliknya yang kaya, juga memiliki tradisi panjang sekularisme dan anti-klerikalisme. Penistaan agama tidak hanya legal, tetapi juga dianggap oleh banyak orang sebagai pilar penting kebebasan berbicara dalam masyarakat demokratis. Di Kota Paris ini pula majalah Charlie Hebdo pernah membuat karikatur yang menghina Nabi Muhammad dan menimbulkan kemarahan umat Islam di berbagai negara.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU