ICAS 13: Bahas Asia Monsun dan Ajang Kolaborasi Internasional

author Danny

- Pewarta

Kamis, 01 Agu 2024 15:46 WIB

ICAS 13: Bahas Asia Monsun dan Ajang Kolaborasi Internasional

Surabaya (optika.id) - Rangkaian International Convention of Asia Scholars (ICAS) ke-13 masih berlanjut, salah satunya diskusi panel yang membahas relevansi konsep "Asia Monsun" atau "Persimpangan Samudra Hindia" dalam konteks studi wilayah saat ini.

Diskusi yang bertajuk "Area Studies in Multipolar World: Monsoon Asia and the Indian Ocean Crossroads" ini digelar di Gedung Pascasarjana Universitas Airlangga, Kamis (1/8/2024).

Baca Juga: Pimnas Ke-37 di Unair Diikuti Lebih dari 3000 Peserta

Konsep studi wilayah, meski kerap disebut sebagai warisan kolonial, tetap menjadi fokus kajian banyak akademisi, terutama di negara-negara Global Selatan. Asia Tenggara, misalnya, telah menjadi pusat perhatian dengan terbentuknya ASEAN. Namun, para peneliti juga semakin tertarik pada wilayah yang lebih luas, seperti Asia Monsun yang mencakup wilayah dari Laut Merah hingga Laut Cina Selatan.

Asia Monsun: Lebih dari Sekadar Geografis

Para peserta ICAS 13 berdiskusi bahwa Asia Monsun bukan hanya sekadar wilayah geografis, tetapi juga memiliki karakteristik historis dan budaya yang unik. Interaksi antara berbagai masyarakat di sepanjang kawasan ini telah membentuk jaringan perdagangan, pertukaran budaya, dan dinamika politik yang kompleks. Wilayah ini telah menjadi titik pertemuan berbagai peradaban, sehingga memberikan kita banyak pelajaran tentang interaksi antar budaya dan proses globalisasi.

Dalam konteks warisan dunia Asia Selatan dan Tenggara, David Henley dari Leiden University, Belanda memaparkan Asia Tenggara bukan sekedar persimpangan budaya. 

Di satu sisi, seluruh Asia telah 'di-Indianisasi', karena hampir tidak ada satu pun wilayah di benua ini yang tidak terpengaruh oleh ekspor budaya terbesar India, yaitu agama Budha. Ujar David, Namun di Asia Tenggara, Indianisasi terjadi lebih dalam dibandingkan di Asia Tengah atau Timur Laut. Hal ini menghasilkan warisan arsitektur yang monumental - termasuk Angkor Wat, kuil Hindu terbesar di dunia Ini sangat mempengaruhi bahasa, sastra, hukum, dan politik (kerajaan) tambahnya. 

Baca Juga: Airlangga Schools SDGs Day 2: Bahas Pilar Pembangunan Lingkungan dan Sosial!

Tidak hanya itu, David membahas kelebihan  dan keterbatasan pendekatan lintas-wilayah yang berpusat pada Samudra untuk ilmu sejarah. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pentingnya Kolaborasi Domestik- Internasional dan Peran AIIOC

Diskusi panel ini juga menekankan pentingnya kolaborasi internasional dalam melakukan penelitian tentang Asia Monsun. Dengan melibatkan para ahli dari berbagai negara, diharapkan dapat dihasilkan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam tentang wilayah ini. Salah satunya dari Universitas Airlangga yakni dengan adanya Airlangga Institute of Indian Ocean Crossroads (AIIOC). 

Melalui AIIOC, Universitas Airlangga berperan dalam menjangkau penelitian dan menginisiasi  pendidikan. AIIOC bisa menyelaraskan kembali pola produksi pengetahuan dan kolaborasi demi mendukung perekonomian berbagi pengetahuan yang bersifat multi-pusat Selatan-Selatan-Utara, lokal-global. 

Baca Juga: Airlangga SDGs School, Tingkatkan Kompetensi Mahasiswa di Berbagai Pilar!

Dalam diskusi panel tersebut, Rumah Kebudayaan Sidoarjo juga turut berbagi pengalaman terkait dengan diskusi beragam ras yang pernah dilakukan, Saya pernah ya mengumpulkan beberapa orang dengan etnis wajah yang berbeda, dan ternyata setelah digali lebih jauh mereka berasal dari keturunan yang sama yakni China. ujar Seta.

Dari sana saya senang sekali bisa berpartisipasi dan bertukar pandangan terkait kebudayaan. Ini acara bagus ya  bisa menambah wawasan dan pemikiran yang tidak terbatas. imbuhnya. 

Penulis: Meilisa Dwi Ervinda

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU