Oleh: Prof Ir Daniel Mohammad Rosyid
Optika.id - Beberapa waktu lalu, saat pengukuhan beberapa Guru Besar di Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Bangkalan terungkap bahwa setelah 10 tahun lebih jembatan Suramadu beroperasi, dampaknya bagi ekonomi Madura dan Regional Jawa Timur tidak berarti. Madura hingga hari ini masih menjadi beban provinsi Jawa Timur. Perkembangan Gerbang Kertosusilo ke Bangkalan terhambat, lalu segera meluber ke Gresik, Mojokerto, Lamongan, Sidoarjo dan malah ke Pasuruan.
Baca Juga: Stunting Moral dan Adab Bangsa
Sementara itu Surabaya boleh dikatakan mengalami stagnasi walaupun ada beberapa kemajuan. Hambatan perkembangan Surabaya disebabkan sebagian oleh kegagalan Bangkalan untuk menarik investasi untuk berbagai sektor sejak industri, hingga pariwisata dan perumahan. Kegagalan Bangkalan ini terutama disebabkan oleh iklim investasi yang tidak kunjung membaik sementara Surabaya makin memikul beban perkembangan ekonomi yang makin besar.
Iklim investasi yang kurang kondusif di Bangkalan disebabkan karena birokrasi yang kurang profesional, infrastruktur dasar yang tidak berkembang (jaringan jalan, dan listrik), serta ketersediaan tenaga kerja terampil yang terbatas. Ketimpangan ini telah menyebabkan jembatan Suramadu gagal mengalirkan investasi ke Madura.
Di samping itu, spesifikasi teknis Suramadu tidak cukup mendukung industrialisasi Bangkalan. Yang terjadi bukannya aliran investasi masuk ke Bangkalan, tapi justru mempermudah mobilitas penduduk Bangkalan ke Surabaya.
Baca Juga: Rebuilding Indonesia Anew
Baik pylon dan kekuatan bentang tengah jembatan Suramadu tidak cukup tinggi dan cukup besar untuk mendukung mobilitas trailer yang cukup besar serta kapal-kapal ukuran cukup besar untuk melintas di bawahnya. Spesifikasi teknis yang memadai akan menyebabkan biaya pembebasan lahan dan biaya konstruksi yang makin mahal. Akibatnya Jembatan Suramadu terpaksa didownspec agar biayanya turun, namun manfaatnya bagi Madura mengecil. Akibat lebih jauh adalah ruang Jawa Timur justru lebih cekung sehingga Madura justru makin terasing dari Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendekatan benua yang mendominasi sistem transportasi kita secara keliru melihat selat sebagai sungai sehingga jembatan seolah menjadi solusinya. Padahal dari segi ruang, selat berbeda dengan sungai. Solusi lama yang lebih tepat sejak era kolonial adalah sistem penyeberangan dengan ferry. Hindia- Belanda membangun infrastruktur kereta api dari Kalianget -Kamal langsung ke ferry khusus untuk mengangkut berbagai produk pertanian dan garam ke Ujung lalu ke pelabuhan Tanjung Perak. Jawa Timur sebagai provinsi kepulauan lebih membutuhkan advanced ferry network untuk mengintegrasikan pulau Madura ke mainland Jawa Timur.
Baca Juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia
Jika saja Bangkalan lebih kondusif bagi investasi, dan Madura lebih terintegrasi ke Jawa Timur, PSN Surabaya Waterfront Land mungkin kurang relevan. Pulau Madura jelas lebih besar dari pada 4 pulau buatan SWL itu, lebih dari cukup untuk mewadahi perkembangan Gerbang Kertosusila sebagai pintu gerbang ke Kawasan Timur Indonesia.
Sukolilo, Surabaya, 21 Desember 2024.
Editor : Pahlevi