Minyak Goreng Langka dan Aktivis Agraria

author Seno

- Pewarta

Jumat, 18 Mar 2022 16:25 WIB

Minyak Goreng Langka dan Aktivis Agraria

i

IMG-20220317-WA0041

Optika.id - Ternyata akhir-akhir ini ketersediaan atau produktivitas CPO di Indonesia (dan dunia) disebut mengalami penurunan. Ada banyak kemungkinan yang bisa diurai untuk menjelaskan ini, sekaligus menjelaskan penyebab naik turunnya harga minyak goreng. Bila disimplifikasi sebab besarnya, ada 3 kemungkinan:

1. Pandemi COVID-19

Baca Juga: Kasus Minyak Goreng Langka, KPPU Tingkatkan Pemberkasan 27 Perusahaan Nakal

PPKM atau pembatasan gerak karena COVID menurunkan mobilitas produksi. Menurunnya mobilitas otomatis menurunkan jumlah tenaga untuk memproduksi CPO. Dan ini dialami seluruh dunia, termasuk Indonesia.

2. Eskalasi Kebijakan Ekspor dan Impor serta Turunannya

Akhir tahun 2021 lalu, pemerintah India (pasar ekspor terbesar Indonesia) menurunkan pajak Impor CPO menjadi 10% (sekarang 5%), disusul penurunan pajak impor di negara-negara lain. Penurunan ini disambut gembira oleh orang Indonesia, penjualan CPO pun naik drastis di paruh waktu itu, tak tanggung-tanggung bahkan mencapai 500%.

Derasnya CPO ke luar menyebabkan ketersediaan CPO domestik menjadi mengkerut, harganyapun lama-lama harus dikoreksi lebih identik dengan harga pasar internasional yang cenderung naik. Pemerintahpun harus berpikir bagaimana caranya agar harga minyak tidak mengikuti pasar dunia, tapi berdasarkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Akhir Januari lalu, akhirnya pemerintah menaikkan pajak ekspor sebesar 25% untuk mengantisipasi ketersediaan minyak goreng dalam negeri. Pemerintah juga mengeluarkan kewajiban 20% (sekarang 30%) produksi bagi perusahaan untuk memenuhi pasar domestik (DMO) dengan harga yang sudah ditentukan pemerintah (DPO). Akhirnya harga minyak sempat turun drastis dari 17.000an menjadi 14.000an.

Harusnya dengan kebijakan seperti ini, minyak goreng akan turun dan tidak langka. Ternyata, harga dan jumlah minyak goreng semakin tidak bisa dikendalikan. Penyebabnya:

1. Kekagetan

Trend pasar pada akhir 2021 yang mengalami kenaikan ekspor mengakibatkan banyak pabrik CPO mulai menggantungkan neraca perdagangannya ke luar negeri. Namun, ketika pajak ekspor dinaikkan + diterapkannya kewajiban DMO 20%, pabrik-pabrikpun menjadi kaget. Apalagi pasar dagang CPO di luar bukan hanya perusahaan Indonesia saja, tetapi ada negara tetangga juga yang siap atau sudah merebut pasar. Dengan munculnya HET dari DPO, mereka akhirnya dilema. Mereka dipaksa menjual minyak dengan harga murah, saat pasar internasional sedang tinggi-tingginya. Kira-kira hal jahat apa yang mungkin mereka mainkan dalam situasi ini? Benar. Kemungkinan penyelundupan atau penimbunan minyak ke luar negeri bisa jadi menjadi faktor yang mengakibatkan kelangkaan minyak.

2. Tak Mengenal Pasar Lokal

Pabrik yang kebanyakan neraca dagangnya dipenuhi dari ekspor, akhirnya harus bisa menyesuaikan diri dengan kebijakan 20% (sekarang 30%) DMO. Artinya mereka harus menyesuaikan dulu dengan konsumen lokal, mempersiapkan distributor hingga spot penyaluran minyak yang bisa bersaing dengan "pemain lamanya". Proses penyesuaian ini membutuhkan waktu yang tidak instan. Akibat dari proses penyesuaian ini, perusahaan CPO tidak mau sembarangan dalam memproduksi minyak goreng. Kehati-hatian dan ketidakpastian pasar ini membuat minyak jadi langka. Bahkan mungkin bukan karena tidak tersedianya CPO, tapi proses mekanisme produksi yang memang sengaja membutuhkan penyesuaian.

Baca Juga: Akhirnya, Per Hari Ini Presiden Larang Ekspor CPO, RPO, RBD Palm Olein, POME dan Used Cooking Oil

3. Mandatori Biodesel 30% (B30) 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satu kemungkinan terjadinya polemik kelangkaan minyak goreng adalah kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil. Rumornya 10-15 tahun lagi minyak bumi sudah tidak beredar lagi di Indonesia. Akhirnya kebutuhan bahan bakar yg semula dipenuhi dari penyulingan minyak bumi, harus diganti dengan Biofuel. Salah satu jenis Biofuell yang bisa digunakan jadi pengganti Minyak Bumi adalah Biodesel. Sementara Biodesel yang paling banyak digunakan (sampai 40% di dunia) adalah Crude Palm Oil (CPO) terbuat dari kelapa sawit.

Kenapa kelapa sawit dipilih? Pertama, sawit dianggap lebih produktif dalam menghasilkan minyak nabati yang bisa diolah menjadi macam-macam termasuk Biofuel: 1 hektar bisa menghasilkan 4,17 Metrik Ton sawit per tahun. Jauh lebih efisien daripada tumbuhan lainnya dengan fungsi yang sama seperti kedelai (0.39 ton/tahun), bunga matahari (0.56 ton/tahun) dll. Selain itu kelapa sawit juga dianggap lebih membutuhkan pupuk, pestisida, dan energi yang lebih sedikit. (Meski ada efek samping terhadap tanah yang ditanami?)

Solusi kelangkaan BBM di masa yang akan datang, sampai hari ini hanya mungkin dipenuhi dengan BBM (Bahan Bakar Nabati) yaitu Biodesel. Setahun yang lalu, untuk mewujudkan BBN pemerintah membuat program Mandatori Biodesel (B30), yaitu mencampurkan 30N ke solar atau BBM. Penerapan pajak ekspor 25n 30%DMO, kemungkinan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan penerapan B30 ini.

Sejak pertengahan 2021 sampai masuk tahun 2022 Menteri ekonomi dan Presiden sering sekali menekankan pentingnya "Hilirisasi Sawit", yang fokus utamanya salah satunya adalah B30. Bahkan dalam banyak acara, Presiden berkata bahwa hilirisasi sawit "harus dipaksa" agar menjadi Price Center bagi CPO global. Banyak negara yang sudah beralih ke mandatori Biodesel, membuat fokus Indonesia dalam hal ini menjadi semakin naik. Artinya, inti atau buah kelapa sawit harus diputuskan harus diolah menjadi minyak goreng atau Biodesel. Ketika pasar minyak goreng semakin menurun, ditambah tingkat keuntungan Biodesel yang jauh lebih tinggi, otomatis perusahaan CPO (secara naluriah) lebih mengutamakan untuk terlibat dalam agenda negara, pemenuhan Biodesel.

Baca Juga: Bawa 4 Tuntutan, Ratusan Massa HMI Surabaya Aksi di Depan Gedung DPRD Jatim

PENUTUP: Aktivis Agraria

Sampai hari ini. Satu satunya yang diproyeksi besar menjadi pengganti energi fosil adalah Biofuel. Ketika jumlah manusia semakin bertambah, lahan yang harus digunakan untuk memenuhi produktifitaspun Biofuelpun semakin bertambah. Jika pertambahan itu berarti menambah produktivitas penanaman kelapa sawit di lahan-lahan kosong, maka? Bisa bertanya ke AKTIVIS AGRARIA ya kelanjutannya!

Oleh: Irfan Al Ayat (Komunitas STIGMA/Studi Intelegensia Manusia)

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU