Optika.id. Surabaya. Pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, jelas bahwa presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya (CNNIndonesia.com, 12/09/2022).
"Kalau itu secara normatif boleh saja. Tidak ada larangan, tapi urusannya jadi soal etika politik saja menurut saya," kata Fajar.
Baca Juga: Para Elite Politik yang Meresahkan
Menurut Fajar dalam Pasal 7 Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) berbunyi,"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Tapsiran Fajar bunyi Pasal 7 itu tidak mengandung larangan bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya. Lebih lanjut dia katakan "Kata kuncinya kan: dalam jabatan yang sama,"
Apa yang dikatakan Fajar memang baru pernyataan dan belum merupakan Keputusan dan atau Ketetapan formal MK. Namun pernyataan itu menyiratkan bahwa MK sudah ok jika ada yang mengusulkan seorang presiden 2 periode maju kembali menjadi calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres) berikutnya.
Isu Presiden Joko Widodo (Jokowi) didorong maju kembali menjadi calon wakil presiden dalam pilpres 2024 muncul sejak Januari 2022. Kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Sekretariat Bersama Prabowo-Jokowi mendorong agar Jokowi maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024 mendatang, berduet dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
"Deklarasi Sekber Prabowo-Jokowi mendorong Prabowo Subianto, calon presiden dan Joko Widodo, calon wakil presiden, sebagai bagian dari Kabinet Indonesia Maju Jilid II untuk maju dalam Pemilu 2024," kata Ketua Koordinator Sekber Prabowo-Jokowi, G. Gisel, dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/1/2022).
Bisik mersik isu Jokowi bakal dicawapreskan 2024 berkembang di kalangan parpol koalisi pemerintah. Saking kencangnya isu itu pun bergulir kemana-mana, termasuk ke parpol oposisi. Hanya saja isu tersebut belum kencang di telinga masyarakat. Belakangan tatkala Jokowi melemparkan isu presiden 3 periode (Musyra, 09/2022) maka isu calon wakil presiden dan presiden 3 periode kuat kembali. Jika formula Sekber Prabowo-Jokowi mengusulkan Prabowo sebagai calon presidennya maka kali ini yang kencang adalah Jokowi didorong menjadi calon wakil presiden. Siapa calon presidennya belum muncul secara jelas. Apakah pernyataan Fajar Laksono, Juru Bicara MK, berkait dengan isu santer ini?
Tidaklah Elok Nafsu Kuasa
Pernyataan Juru Bicara MK, Fajar Laksono, disanggah oleh Fadhli Ramadhanil, dari peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Fadhli Ramadhanil mengharapkan seorang presiden sudah 2 periode sebaiknya tidak maju kembali dalam pilpres 2024, meskipun menjadi cawapres.
Menurut Fadhli isi Pasal 7 UUD 1945 diakui bisa diperdebatkan. Dia katakan bahwa secara normatif, memang ketentuan itu bisa diperdebatkan.
Nilai yang terkandung di dalam konstitusi tentu tidak hanya teks, tapi juga ada semangat pembatasan masa jabatan, untuk berjalannya sirkulasi kepemimpinan nasional," urai Fadhli.
"Tidaklah elok, jika seorang presiden 2 periode, maju untuk menjadi wakil presiden, dengan memanfaatkan ruang normatif di dalam pasal konstitusi," ujarnya.
Menurut pengamat politik Dr Abdul Aziz, dari Fisip Universitas Brawijaya (UB) Malang, maju untuk ketiga kalinya sebagai wakil presiden dinilai sebagai nafsu kuasa ketimbang membuka pikiran untuk memahami lebih jernih "ideologi" demokrasi yang ada di balik teks pasal 7 UUD 1945, tulisnya kepada Optika.id lewat WhatsApp, 13/09/2022.
[caption id="attachment_40187" align="aligncenter" width="808"] Dr Abdul Aziz, Fisip Universitas Brawijaya (UB) Malang.[/caption]
Pengamatan Aziz MK berdalih soal bunyi "normatif" Pasal 7 UUD 1945.
Tapi hakim-hakim MK lupa (atau mungkin tidak tahu) jika dimensi "normatif" dalam teks tidaklah berdiri sendiri. Ia tidak berada di ruang hampa. Tidak tanpa konteks. Bukan variabel tunggal yang dipaksa memaknai dirinya sendiri, urai dosen Ilmu Politik di Fisip UB itu. Lebih lanjut dia uraiakan bahwa di balik bunyi teks pasal itu sesungguhnya ada semangat demokrasi dan upaya membatasi kekuasaan seseorang dalam masa dua periode.
Baca Juga: MPR Bantah Punya Agenda Gelap Terselubung Tunda Pemilu
Dengan begitu sirkulasi elite dapat berlangsung dengan baik, normal, dan teratur. Dalam pemikiran demokrasi, terlalu lama seseorang berkuasa pasti dan selalu membawa dampak buruk dalam berbangsa dan bernegara, simpulannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aziz mewanti-wanti MK, sudah banyak bukti empirik dan historik di dunia soal keburukan nafsu kuasa itu. Karena itu diharapkan MK tidak membuat tafsir yang anti demokrasi. Sebab, demokrasi merupakan sistem politik yang dianut oleh UUD 1945.
MK jangan membuka peluang untuk kembalinya otoritarianisme ke arena kekuasaan republik ini.
Ini Memang Masalah Etis
Pendapat berbeda dengan MK juga disampaikan oleh Prof Nurul Barizah, S.H, LL.M, Ph.D dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Menurut Nurul esensi dan filosofinya adalah pembatasan masa jabatan agar proses demokrasi berjalan baik, ada kontrol terhadap kekuasaan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, tidak menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, nepotisme dan lain-lainnya.
[caption id="attachment_40188" align="aligncenter" width="678"] Prof Nurul Barizah, S.H, LL.M, Ph.D dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga.[/caption]
Diakuinya bahwa hal ini masalah ethis dan tidak ethis.
Masak setelah jadi presiden mau jadi wakil presiden. Hal ini bisa menjadi preseden buruk karena jika ini berjalan, praktek sepertt itu akan menjadi contoh yang tidak baik, kata Dekan Fakultas Hukum Unair 2019-2021.
Baca Juga: Skenario Penundaan Pemilu Dihembuskan Lagi, Ada Apa?
Nurul mengkhawatirkan jika MK memperbolehkan presiden 2 periode maju lagi menjadi calon wakil presiden dalam pilpres 2024 bisa terjadi kekuasaan yang personal. Dia mencontohkan setelah jadi gubernur kemudian menjadi wakil gubernur atau bupati. Setelah selesai 2 periode diganti oleh Istinya 2. Setelah itu diganti anaknya. Sehingga akan muncul persepsi jabatan apapun tidak masalah asal menjadi pejabat terus dan punya power.
Coba bayangkan kalau praktek seperti itu terjadi di sebagian besar pimpinan daerah di Indonesia, katanya menyayangkan.
Sama dengan pendapat Aziz, di balik batasan dua periode bagi presiden dan wakil presiden adalah kepatutan juga. Sesuatu yang patut dan tidak patut.
Juga agar kepeminpinan nasional semakin dinamis, perlu ada tongkat estafet kepeminpinan ke generasi yang lebih muda, sambungnya. Menurut Nurul semua itu agar ada tokoh potensial lebih muda yang mampu membawa bangsa dan negeri ini menjadi lebih maju, sejahtera, berkeadaban dan berkeadilan sosial.
Tulisan: Aribowo
Editor: Amrizal Pahlevi
Editor : Pahlevi