Soal Dugaan Kepentingan Elite dalam Putusan PN Jakpus, Pengamat: Sulit Membuktikan 'Titipan' itu

author Seno

- Pewarta

Minggu, 05 Mar 2023 19:22 WIB

Soal Dugaan Kepentingan Elite dalam Putusan PN Jakpus, Pengamat: Sulit Membuktikan 'Titipan' itu

Optika.id - Pengamat politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Singgih Manggalou, S.IP, M.IP, turut berpendapat soal putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Baca Juga: Takut Bikin Chaos, AHY Khawatirkan Penundaan Pemilu 2024

Diketahui, PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU berujung KPU dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan Pemilu dari awal.

"Saya kira itu gol bunuh diri! Persoalan kemarin murni administrasi, jika merujuk UU Pemilu No7 Tahun 2017, harusnya Bawaslu yang dilibatkan sebab perselisihan sebelum pencoblosan," kata Singgih pada Optika.id, Minggu (5/3/2023).

"Secara substansi jika ditunda sampai 2025, siapa orang yang punya legitimasi jadi pemimpin Indonesia? Saya kira akan terjadi kekacauan kondisi politik nasional, jika pemilu ditunda," imbuhnya.

Adakah muatan kepentingan elite, terkait putusan PN Jakpus?

"Motif itu kemungkinan ada, apalagi narasi 3 periode yang gencar disampaikan relawan-relawan Pak Presiden Jokowi," jawab alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga ini.

"Tapi sulit membuktikan 'titipan' tersebut," tegasnya.

Menurut prediksi Singgih, Pemilu 2024 bakal sesuai tahapan-tahapan Pemilu. Tidak ada argumentasi yang kuat untuk menunda pemilu.

"Jika pemilu ditunda pun, siapa yang akan jadi Presiden dan anggota Parlemen, kan tidak mungkin Plt. Apalagi beberapa hari yang lalu MK (Mahkamah Konstitusi) sudah secara tegas menolak gugatan masa jabatan presiden sehingga tidak ada motif perpanjangan tersebut," jelasnya.

Kelompok Terorganisir

Sementara itu, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Noory Okthariza menduga ada kelompok terorganisir di balik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutuskan meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan pemilu 2024.

"Saya sulit untuk tidak lihat putusan PN Jakarta Pusat sebagai bagian, dengan segala hormat, kelompok yang ingin pemilu ditunda. Kelompok ini bisa terorganisir, bisa tak terorganisir, tapi tujuannya sama, pemilu ditunda. Entah satu atau dua tahun dan seterusnya," kata Noory seperti dikutip Optika.id dari kanal YouTube CSIS, Jumat (3/3/2023).

Noory mengatakan banyak instrumen yang bisa kelompok ini lakukan demi menunda Pemilu. Baik melalui amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945, menghadirkan GBHN, hingga mobilisasi kepala desa. Untuk kasus kali ini, ia mengatakan kelompok ini bergerak melalui mekanisme pengadilan.

"Banyak hal yang sudah dilakukan. Tapi kelompok ini hari ini masuk lewat pintu pengadilan," kata dia.

Noory mengatakan pergerakan kelompok yang ingin menunda pemilu makin serius jelang pemilu. Ia juga berpandangan kelompok ini mudah dilacak jejaknya melalui sosial media. Noory juga menjelaskan kelompok ini kerap menjadikan isu penundaan pemilu sebagai komoditas di politik.

"Makin mendekat ke tahun politik isu ini jadi komoditas untuk political bargaining. Sekali di setop muncul isu baru. Dan dinamika ini jadi bargaining isu jadi komoditas," kata dia.

Selain itu, Noory meminta Presiden Joko Widodo segera bersikap untuk merespons putusan PN Jakpus ini. Ia mengatakan sampai saat ini sikap Jokowi masih belum terlihat jelas.

"Kita ingin dengar pendapat presiden gimana, posisi presiden seperti apa. Pak Mahfud sudah sampaikan. Sekarang presiden gimana sikapnya?" kata dia.

Berusaha Tunda Pemilu

Pernyataan CSIS ini senada dengan diungkapkan oleh Wakil Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani beberapa waktu lalu.

Arsul menyebut masih terdapat sejumlah pihak yang terus berusaha menunda pelaksanaan Pemilu serentak tahun 2024. Kendati demikian, saat itu Arsul tidak merinci lebih jauh ihwal identitas kelompok yang memperjuangkan penundaan pemilu.

"Sebagaimana juga informasi yang saya dapatkan, di tengah masyarakat kan juga ada ikhtiar dari kelompok tertentu yang masih mengupayakan penundaan Pemilu," ujarnya di DPP PPP, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/2/2023).

Baca Juga: Partai Demokrat Tegaskan Penundaan Pemilu Aib Besar Bagi Jokowi dan Coreng Konstitusi

Diketahui, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat sebelumnya mengabulkan gugatan Partai Prim dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024. Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu diadili oleh ketua majelis hakim T. Oyong dengan hakim anggota H. Bakri dan Dominggus Silaban.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

PN Jakarta Pusat menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. KPU diminta membayar ganti rugi materiil sebesar Rp500 juta kepada Partai Prima. Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo menegaskan putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah. Ia menjelaskan masih ada upaya hukum di pengadilan tinggi.

"Putusan ini bisa merepresentasikan keinginan kelompok-kelompok yang selama ini menunda tahapan Pemilu. Penundaan Pemilu kurang lebih sama dengan memperpanjang masa jabatan meskipun tidak eksplisit berapa tahun. Jika memakai teori konspirasi dengan mudah menunjuk siapa kelompok yang selama ini bicara tentang penundaan Pemilu, bicara tentang yang namanya Big Data, Aspirasi Masyarakat, Kepuasan Masyarakat dan lain sebagainya," ungkap pengamat politik Refly Harun seperti dikutip Optika.id dari akun YouTube-nya, Minggu, (5/3/2023).

Refly mengatakan, kelompok pembangkang para konstitusi ingin masa jabatan bertambah. Dengan adanya penundaan Pemilu 2024, keinginan mereka semakin terkabul untuk terus melanjutkan masanya.

"Inilah kelompok yang membangkang para konstitusi, kalau menunda pemilu sama saja membangkan dengan konstitusi, tidak ada dasarnya menunda Pemilu. Yang ada adalah Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan, itu tidak seluruh tempat, jika ada bencana alam dan tidak mungkin dilaksanakannya pemilihan, mulai pemutakhiran data penduduk hingga proses pencoblosan," ujarnya.

Sejatinya, masih dikatakan Refly, tidak ada penundaan Pemilu. Adanya hanya lanjutan tahapan Pemilu dengan atas dasar Pemilu tersebut memang benar-benar tidak bisa dilaksanakan.

"Pemilu ada proses, ada hari H, sementara penundaan Pemilu lanjutan adalah melanjutkan tahapan terhenti, tidak ada dasar hukum menunda pemilu. Karena itu, pemerintah tidak boleh coba-coba mengatakan uangnya tidak ada atau tidak dianggarkan, pemilu itu hajatan yang diharuskan pemerintah untuk menyediakan anggaran bersama anggota DPR. Jangan dikotomikan dengan mensejahterakan rakyat, berpemilu sebagai sarana demokratis sirkulasi kepemimpinan harus dilaksanakan," terangnya.

Baginya, dengan pelaksanaan yang kurang dari satu tahun, adanya kelompok-kelompok seperti ini seharusnya bisa diraba siapa saja aktor dibalik semua itu.

"Sampai pelaksanaan kurang dari satu tahun masih ada kelompok-kelompok yang ricuh, siapa itu dikaitkan dengan kelompok 3 periode, perpanjangan pemilu kita bisa meraba-raba, siapa kelompok itu," katanya.

Jika Pemilu ditunda akan berdampak kepada masyarakat pula, juga berdampak kepada pejabat-pejabat di atas sana.

"Tentu imajinasi orang-orang tidak bisa dibantah, pasti tertuju pada kelompok dominan society kepada kelompok yang mengatakan 3 periode. Sekali lagi, pastilah masyarakat banyak yang ribut, ternyata ombaknya cukup besar karena tunda pemilu. Begitu ada tunda pemilu, mereka mengadakan rapat besar, bagaimana isu proporsional terbuka dan tertutup. Jika memang tunda Pemilu, harusnya tidak boleh ada partai yang berbicara seperti itu, sekarang sudah tidak ada lagi, dulu masih ada. Ini menunjukkan tekanan masyarakat yang mempunyai hak seperti itu bisa saja memberikan hambatan yang berarti," tuturnya.

Baca Juga: Serius Tanggapi Keputusan PN Jakpus, KPU Buat 7 Versi Banding Hadapi Putusan Tunda Pemilu

Tetap harus berhati-hati dengan kelompok yang diduga melakukan penundaan.

"Sekali lagi, kita harus berhati-hati dengan kelompok ini karena upayanya akan terus-terusan dilakukan, akan dibuat keos dan menimbulkan penundaan Pemilu, semoga tidak ada hal seperti itu," ungkapnya.

Menurutnya, hakim Pengadilan Jakarta Pusat tidak bodoh, akan tetapi Refly kebingungan dengan putusan gila yang diperbuat oleh hakim.

"Kembali lagi saya tegaskan, kita tidak menuduh, tetapi menganalisis kemudian dikaitkan dengan putusan ini, putusan gila, hakimnya kalau tidak bodoh diintervensi, tapi tidak mungkin hakimnya bodoh karena pangkatnya sudah 4D dan 4C. Apalagi hakim Jakarta Ibukota, siapa yang mengintervensi, ya kelompok menunda pemilu, bacalah di berita, siapa yang ingin masa jabatan 3 periode," tukasnya.

Laporkan Hakim PN Jakpus ke KY

Selain itu, advokat asal Surabaya, H. M. I. el Hakim, S.H., M.H. melayangkan laporan terhadap Para Hakim Majelis Hakim PN Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial.

Hal ini disebabkan Para Hakim tersebut diduganya melanggar konstitusi serta kode etik dan perilaku hakim dalam Putusan Perkara Nomor 757/Pdr.G/2022/PN.Jak.Pst yang salah satu amar putusannya memerintahkan untuk menunda pemilu 2024.

"Apa yang dilakukan oleh para Hakim ini menciderai tidak hanya institusi yudisial namun juga semangat nomokrasi dan demokrasi di Indonesia," ungkap Cak Hakim sapaan akrabnya pada Optika.id, Jumat (3/3/2023).

Advokat ini melaporkan diri sebagai Warga Negara Indonesia yang terdampak kepentingan konstitusionalnya atas putusan yang memerintahkan penundaan pemilu tersebut.

"Melalui laporan ini saya sebagai warga negara Indonesia menjalankan peran kontrol institusional bahwa seharusnya hakim itu harus bijaksana dan cermat dalam memberikan putusan sebagai lembaga pemberi keadilan, bukan pembuat kegaduhan," kata Cak Hakim.

Laporan terhadap para Hakim PN Jakpus tersebut diserahkan oleh Cak Hakim melalui KY penghubung Jawa Timur secara langsung pada hari Jumat (3/3/2023) lalu.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU