Mengorek Luka Lama: Riset Perang Indonesia-Belanda dan Narasi Kejahatan Perang Pejuang Indonesia

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 23 Jun 2023 13:25 WIB

Mengorek Luka Lama: Riset Perang Indonesia-Belanda dan Narasi Kejahatan Perang Pejuang Indonesia

Optika.id - Akhir tahun 2017, Belanda mengucurkan dana 4,1 juta euro untuk membiayai penelitian sejarah perang dekolonisasi tahun 1945-1950 di Indonesia yang melibatkan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), Lembaga Penelitian Perang, Holocaust dan Genosida (NIOD), serta Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV).

Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Ketiga lembaga penelitian itu mulai membuka arsip perang yang telah lama tersimpan. Komunitas pencinta dan pemerhati sejarah yang terhimpun dalam grup-grup Facebook membagikan foto serdadu Belanda menjalin keakraban bersama warga sipil dari kalangan anak-anak, petani tua hingga tukang becak.

Tentu, terdapat maksud dan agenda tersembunyi dari Belanda yang selama ini menutup-nutupi kenyataan kejahatan perang dalam sejarah perang Indonesia-Belanda dengan menggunakan istilah kekerasan eksesif. Selain itu, kejahatan perang dari pihak Indonesia pasti akan terbongkar juga.

Mengorek Ngorek Luka Lama

Perang Indonesia-Belanda tahun 1945-1950 merupakan kisah sensitif yang memendam ribuan cerita, rahasia, luka, duka, derita dan bahkan dusta. Situasi politik menggiring kedua belah pihak yang bertikai menempatkan posisi masing-masing dalam memandang.

Pemerintah Republik Indonesia yang telah mendeklarasikan kemerdekaan secara otomatis menganggap tindakan Belanda sebagai upaya menjajah kembali. Sehingga pihak Indonesia mempersiapkan diri untuk membendung serbuan serdadu Belanda.Sementara Belanda menganggap kedatangannya ke Indonesia untuk menjaga ketertiban dan keamanan.

Belanda merasa berhak melanjutkan aksi polisional South East Asia Command yang terdiri dari gabungan pasukan Inggris dan tentara Jepang di Hindia Belanda.

Persoalan sejarah berikut dendam-dendamnya, menceburkan Indonesia dan Belanda dalam peperangan yang memicu konflik berkelanjutan, bahkan belum tuntas hingga kini.

Identitas penjajah-terjajah membentuk sudut pandang Indonesiasentris dan Nerlandosentris yang menimbulkan polemik.

Kabar buruknya, sejarah adalah ilmu pengetahuan dengan kadar politis yang tinggi. Akibatnya, pemerintah Belanda dengan seenak jidat menggambarkan tindakan kejahatan perang dalam sejarah perang Indonesia-Belanda tahun 1945-1950 sebagai kekerasan eksesif belaka.

Sedangkan pemerintah Indonesia yang mengetahui kenyataan bahwa pejuang Indonesia juga menjadi pelaku kejahatan perang memilih untuk menyembunyikannya meski dengan skala jauh lebih kecil.

Anehnya, kejahatan keji yang dilakukan oleh pihak Indonesia justru lebih banyak di arahkan ke orang Indonesia lainnya. Bagi para elit, revolusi Indonesia lebih baik tetap tertutup karena menyinggung isu yang sangat sensitif, dari persoalan perpecahan secara politik, geografis maupun etnisitas yang melibatkan berbagai tindakan kekerasan tulis Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi yang Salah, dikutip Optika.id, Kamis (22/6/2023).

Kekisruhan multidimensional pasca kemerdekaan Indonesia merupakan konsekuensi yang harus ditebus atas pengusiran orang-orang Eropa.

Di lain sisi para pemimpin TNI yang bertanggung jawab atas tindakan bawahannya mengaku kewalahan sebab situasi mendesak mereka untuk merekrut tentara amatir dari dunia gelap seperti pencuri, preman, pelacur dan jenis penjahat lainnya.

Narasi Kejahatan Perang Pejuang Indonesia

Aksi polisional South East Asian Command bagi orang-orang Indonesia merupakan upaya menjajah kembali karena mengikut sertakan musuh bebuyutan, Belanda.

Baca Juga: Konflik Palestina dan Israel Kembali Pecah, Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertempuran meletus di berbagai tempat. Di Surabaya, arek-arek Suroboyo mempercundangi tentara Inggris. Misi menjaga keamanan dan ketertiban serta melindungi warga berkebangsaan Eropa dan Jepang di Indonesia menjadi pengalaman buruk yang membunuh pamor Inggris di kancah internasional.

Selain karena menelan banyak kerugian, korban dan keuangan, juga merasa terhina, sebab kekuatan dunia terusir oleh bambu runcing dan senapan para pejuang amatiran.

Akibatnya, dari bulan Juni sampai Desember 1946, bertahap pasukan Inggris angkat kaki dari Indonesia sedangkan Belanda dengan terburu-buru menghimpun kekuatan militer baru melalui perekrutan terkoordinir rapi tapi terkadang bahan seringkali ngawur.

Semenjak Jepang menyerah, situasi chaos mewarnai kehidupan sehari-hari di Indonesia selama dua bulan. Republik yang baru merdeka ini belum mempunyai sistem keamanan yang mumpuni.

Warga sipil mengambil senjata bekas perang atau merampasnya di gudang persenjataan Jepang. Warga sipil bersenjata yang rentan bertikai, karena latar belakang mereka dari santri sampai penjahat.

Seringkali sentimen kebencian dan emosi maskulinitas mendorong sikap superioritas yang berujung klaim kekuasaan sehingga aksi penjarahan brutal bebas berkeliaran, pembunuhan dan intimidasi terjadi dimana-mana serta menjadi hal biasa. Orang Jepang, Eropa dan Indo-Eropa mengalami kekerasan hebat, bagi yang lolos dari musibah harus mengidap trauma berkepanjangan.

Manda Firmansyah dalam bukunya yang berjudul Jejak Minoritas Kaya Armenia yang Telah Punah di Indonesia: Dari Hotel Mewah Hingga Merintis Pertandingan Sepak Bola menulis pada 29 September 1945, pasukan South East Asian Command dari Divisi 23 British-Indie meluncur ke Surabaya untuk menjemput korban-korban revolusi. Orang-orang Armenia yang berkewarganegaraan Eropa menjalani kehidupan penuh ketidakpastiaan, diselimuti nuansa kesedihan dan dilanda teror ketakutan. Sesampai Surabaya pada tahun 1945, keluarga Ms. Knape tergores luka yang memberikan bekas kenangan pahit.

Baca Juga: Krusialnya Code of Conduct Laut China Selatan, Indonesia Bisa Kendalikan China

Suatu hari ekstrimis muda Indonesia yang berkendaraan militer melaju ke rumah yang digunakan sebagai tempat persembunyian tiga ekonom tersebut. Dua ekonom memilih bunuh diri sempat terjadi ritual tembak-menembak. Seorang ekonom yang tersisa memutuskan untuk melarikan diri, memasuki kebun sayur tetangga sebelah kanan melalui halaman belakang rumah Ms.Knape.

Ia dikejar-kejar oleh pemuda-pemuda itu hingga mencapai pekarangan Ms. Knape. Pemuda-pemuda Indonesia itu bersiap-siap mengambil alih rumah Ms. Knape dengan mengadakan pengepungan terlebih dahulu.

Ms. Knape bergegas keluar dari rumah menyambut pemuda-pemuda yang mengepung pekarangannya lalu memohon kepada mereka dengan berkata,

Tuan, Djangan tembak, aku bangsa Arab. Sir, kita tidak menembak orang Arab. Hanya ada perempuan dan anak-anak di rumah ini!, kata Ms. Knape, dikutip dari buku Jejak Minoritas Kaya Armenia yang Telah Punah di Indonesia: Dari Hotel Mewah Hingga Merintis Pertandingan Sepak Bola, Jumat (23/6/2023).

Akan tetapi, pemuda-pemuda justru malah mendorong Ms. Knape lalu mengobrak-abrik semua kamar. Salah satu pemuda melihat noda darah pada dinding menengah lalu melompat ke atasnya untuk memastikan. Rupanya mereka menyadari keberadaan ekonom Jepang yang sedang bersembunyi dan langsung membunuhnya.

Ms. Knape juga masih ingat peristiwa tragis ketika terjadi konvoi truk, perempuan Belanda dan anak-anak dari kamp-kamp internirn diserang pemuda-pemuda beringas dengan brutal.

Para wanita dan anak-anak ditarik dan dibunuh langsung di lokasi kejadian. Toko-toko dan rumah-rumah di sekitar lokasi kejadian yang merupakan milik pedagang China menawarkan bantuan meskipun berakhir dengan sia-sia. Huru-hara pasca-kemerdekaan tersebut tercipta sebagai akibat dari kekosongan kekuasaan di Indonesia.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU