Optika id - Edukasi seksual atau sex education di Indonesia saat ini seolah mengalami jalan buntu. Hal ini disebabkan oleh kultur Indonesia yang masih menabukan pembicaraan terkait seksual sehingga menghambat orang tua untuk menjadi garda terdepan dalam mendampingi pertumbuhan seksualitas anak.
Baca Juga: Jadilah Berani, Ini Kiat Mengindari Catcalling
Untuk memberikan edukasi seksual kepada anak, UNESCO sendiri telah memberikan panduan agar orang tua bisa menyampaikan edukasi seksual secara ringkas dan mudah dipahami oleh anaknya dengan baik.
Berdasarkan referensi dari UNESCO, pendidikan seks terhadap anak harus diberikan secara bertahap dan sejalan dengan perkembangan usia anak. Panduan ini pun dengan mudah bisa diakses secara terbuka dan bebas oleh publik, khususnya orang tua, di internet.
Edukasi seksual mau tak mau memang tergantung pada pola komunikasi yang terbangun antara orang tua dan anak kendati UNESCO sudah memberikan panduannya. Pola komunikasi antara orang tua dan anak memang menjadi tantangan tersendiri serta kompleks bagi banyak keluarga Indonesia saat ini.
Tantangan orang tua saat ini adalah membangun kebiasaan komunikasi yang sehat dengan anak. Apabila hal tersebut bisa terjadi, maka anak akan mudah untuk diajak membicarakan hal apapun dan terbuka dengan orang tua. Sebaliknya, apabila komunikasi itu tidak berjalan baik dan tidak terbangun chemistry, maka disitulah orang tua biasanya mengalami jalan buntu.
Ironisnya, saat ini masih banyak orang tua yang tidak mampu dan wagu dalam membangun komunikasi yang baik dengan anak. Dampaknya tentu saja menutup kemungkinan dialog yang diperlukan dan anak menjadi lebih tertutup.
Pemberian edukasi seksual kepada anak sejak usia dini merupakan langkah preventif agar mencegah kasus-kasus seperti belakangan ini. Mulai dari kekerasan seksual terhadap anak, pelecehan di sekolah, kehamilan di usia muda, dan lain sebagainya.
Harapan dari pemberian edukasi seksual sejak usia dini dan dilakukan oleh keluarga di rumah adalah bisa membentengi anak ketika mereka berhadapan dengan hal-hal di luar norma dan berisiko. Anak-anak juga bisa secara aktif dan responsive mengambil keputusan ketika mengalami situasi yang mengancam mereka.
Baca Juga: Tak Hanya Perempuan, Kaum Laki-Laki juga Wajib Belajar Literasi TPKS
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengamini jika orang tua di Indonesia sulit membicarakan dan memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang seksualitas kepada anak-anaknya. Mayoritas orang tua masih merasa canggung, malu, dan perasaan tabu melanggar norma ketika mereka berbicara perihal seksualitas di hadapan anaknya.
Melihat hal tersebut, Hasto mengatakan jika menabukan pendidikan seksual merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam sejumlah upaya sosialisasi yang dilakukan oleh pihaknya selama ini.
"Sexual educationitu bukan pendidikan tentang hubungan seks. Orang sering salah mengartikannya, dianggapnya ini pelajaran tentang cara hubungan seks, ini yang perlu diluruskan. Ditambahsuudzonkalau itu cenderung mendorong untukfree sex.Suudzoninilah yang akhirnya jadi hambatan terhadap proses pendidikan seksualitas atau kesehatan reproduksi," kata Hasto, kepada Optika.id, Senin (17/7/2023).
Hasto menjelaskan jika susahnya penerimaan tentang pendidikan seks ini berasal dari kalangan orang tua sendiri. Sementara bagi anak muda, pendidikan seks ini bisa lebih terbuka diterima oleh mereka dan bisa mereka pahami dengan baik.
Baca Juga: Menikahkan Korban Pelecehan Seksual dengan Pelaku, Trauma Belum Usai dan Hak yang Tak Terpenuhi
Maka dari itu, pihaknya melakukan program kampanye BKKBN yakni Genre atau Generasi Berencana yang bertugas untuk menjaring komunitas anak muda agar bisa menyosialisasikan pemahaman seks. Dalam program ini, BKKBN melalui Genre mengusung metode pembelajaran seks dari teman ke teman, anak muda ke anak muda lainnya alih-alih menyasar orang tua yang agaknya susah untuk diajak bekerja sama dan sedikit-sedikit menabukan hal lain.
Akan tetapi, tetap saja Genre merupakan program tingkat lanjut yang tidak menyasar anak-anak, melainkan remaja. Padahal, pendidikan seksual haruslah dimulai sejak dini dan berasal dari lingkup keluarga.
Sampai di sini, solusi pun menemui jalan buntu. Berapa lama lagi orang tua di Indonesia akan lebih terbuka untuk membicarakan seksualitas anak-anaknya yang belum remaja?
Editor : Pahlevi