Optika.id - Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. - UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3
Baca Juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
Potongan undang-undang di atas adalah bukti bagaimana Indonesia sebagai negara yang kaya berupaya untuk melindungi sumber daya alam yang terkandung dalam negara demi kesejahteraan rakyat.
Terlebih lagi, Indonesia adalah negara yang sangat bergantung pada produksi pertanian. Untuk itu, guna untuk melegalisir usaha pertanian dan mengatur praktik pertanian, pemerintah dibawah kekuasaan Soekarno mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria pada tahun 1960.
Uniknya, aturan mengenai permasalahan agraria ini tidaklah dibentuk oleh komisi DPR ataupun panitia khusus DPR, melainkan oleh Panitia Negara. Dalam sejarah Indonesia, hanya ada dua permasalahan yang undang-undangnya dibentuk oleh Panitia Negara, yaitu UU Agraria dan UU Keuangan. Ini menjadi cerminan bahwa permasalahan agraria merupakan permasalahan yang mendasar.
Tatanan agraria tradisional di Jawa mengalami perubahan seiring dengan masuknya kekuatan kolonialisme. Bersamaan dengan hal tersebut, terjadi perubahan pada jenis-jenis penguasaan dan pemilikan tanah di Jawa.
Secara umum, ada dua kategori dalam pola pemilikan tanah di Jawa: pertama, kepemilikan secara individual yang dapat diwariskan; dan kedua, pemilikan komunal yang diatur dalam sistem rotasi tetap atau bergilir di antara masing-masing petani penggarap di desa.
Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Praktik penggarapan tanah secara komunal dianggap sebagai karakter dasar pola pertanian tradisional, tetapi dari berbagai kajian terbukti bahwa perkembangan praktik tanah komunal tersebut merupakan kreasi kolonial Hindia-Belanda sejak berlakunya sistem tanam paksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perkembangan sistem tanam paksa pada akhirnya meruntuhkan kedudukan petani pribumi sehingga tidak lagi memiliki akses dalam pemilikan dan penguasaan tanah.
Memasuki abad ke-19, kebijakan tanam paksa dikritisi oleh golongan liberal sehingga diterapkan politik etis dengan salah satu kebijakannya adalah membolehkan penanaman modal asing.
Baca Juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel
Pada perkembangannya, kehadiran para pengusaha perkebunan swasta Hindia-Belanda menyebabkan timbulnya kebutuhan akan jaminan penyediaan tanah yang lebih pasti dan sistem sewa yang lebih panjang sehingga atas kebutuhan tersebut pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yang mengatur persoalan tanah yang dikenal dengan Agrarische Wet pada tahun 1870.
Makna undang-undang tersebut bagi rakyat pribumi adalah kesempatan pemilikan tanah secara individual atau hak eigendom (pengakuan hak milik atas tanah secara individual oleh masyarakat pribumi. Pengakuan ini juga diakui dalam undang-undang kolonial) terhadap tanah dan penghapusan sistem penggarapan tanah komunal yang berlaku sebelumnya.
Selain itu, sejak tahun 1860 sampai dengan tahun 1915 pemerintah menghapuskan pula sistem pelayanan kerja wajib (corvee labour) dan sebagai gantinya diberlakukan sistem pajak kepala sebagai sumber pendapatan pemerintah yang baru. Sementara itu, menurut Andi Achdian dalam bukunya Tanah Bagi Yang Tak Bertanah yang dikutip Optika.id, Minggu (30/7/2023) menjelaskan bahwa rangkaian kebijakan tersebut mendorong perubahan dalam pola pemilikan tanah dan sistem hubungan kerja di Jawa pada abad ke-20.
Editor : Pahlevi