Optika.id - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavanda menduga bahwa praktik politik uang berupa jual beli suara akan kembali mewabah pada Pemilu 2024. Terutama pada masa tenang.
Baca Juga: Meneropong Pilkada Sidoarjo: Ujian Kepercayaan Publik
Bukannya tanpa alasan, pasalnya dia berkaca pada Pemilu 2019 silam. Pihaknya saat itu mendapati sejumlah pola transaksi janggal pada masa tenang Pemilu 2019. Adapun salah satu yang paling mencolok adalah catatan yang ditemukan oleh PPATK banyak penukaran uang pecahan Rp50.000 dan Rp100.000 secara massif di berbagai bank.
"Kami lakukan koordinasi terus dengan pihak pelapor dan industri keuangan, KPU, Bawaslu dan tentunya segala upaya untuk memperkuat kemampuan PPATK mendeteksi (politik uang)," ucap Ivan, dalam keterangannya yang dikutip Optika.id, Rabu (30/8/2023).
Untuk diketahui, KPU telah mengatur masa tenang pada Pemilu 2024 yakni 11 13 Februari 2024. Setelah masa tenang berakhir, maka pada tanggal 14 Februari 2024 akan digelar pemungutan suara.
Selain berkolaborasi dengan KPU dan Bawaslu, untuk mengantisipasi jual beli suara pada Pemilu 2024 Ivan menyebut jika PPATK akan terlibat secara aktif dalam Satuan Tugas Antipolitik Uang yang dibentuk oleh Polri belum lama ini. Dia menegaskan bahwa tugas mereka adalah mengikuti aliran uang yang masuk dan keluar dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Langkah selanjutnya adalah membentuk program bernama collaborative analysis dengan tujuan menekan berbagai praktik politik uang ketika pemilu berlangsung. Ketika disinggung mengenai detail program tersebut, dia enggan menjawab.
Baca Juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, dalam keterangan yang sama Lolly Suhenty selaku anggota Bawaslu RI mengingatkan agar masyarakat waspada terhadap politik uang di Pemilu 2024. Adapun modus dari politik uang tersebut beragam mulai dari memberikan barang, memberikan langsung, hingga memberikan janji. Modus serupa juga pernah digunakan pada Pemilu 2019 silam.
"Ada politik uang sebelum masa kampanye, ada pula sebelum hari pemungutan suara. Selain itu, ada pula politik uang yang dilakukan secara digital, termasuk juga kegiatan sosial yang diwarnai politik luar dan program pemerintah," ujar Lolly.
Sebagai informasi, Bawaslu telah merilis indeks kerawanan pemilu (IKP). Dalam IKP itu, secara khusus menyoroti isu mengenai politik uang. Tercatat ada lima provinsi yang memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi yakni Maluku Utara dengan skor mencapai 100, disusul Lampung yang mendapatkan skor 55,56, Jawa Barat dengan Skor 50, Banten dengan skor rawan 44,44, dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89.
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Pada kategori tingkat kerawanan sedang, DKI Jakarta berada di posisi puncak dengan skor IKP 32,33.
"Bawaslu bergandengan tangan dengan berbagai kelompok kepentingan seperti kepolisian, kejaksaan, pemerintah dan masyarakat. Semua harus bergabung karena bahaya politik uang hanya bisa ditangani kalau kita kerja bersama-sama," kata Lolly.
Editor : Pahlevi