Optika.id - Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik Bagi Rumah Tangga telah diterbitkan oleh Kementerian ESDM. Bahkan peraturan menteri ESDM itu diiringi dengan turunannya yang mengatur perihal Petunjuk Teknis Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik (AML) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 548.K/TL.04/DJL.3/2023.
Adapun tujuan dari program tersebut yakni jaminan atas akses energy bersih yang terjangkau, dan mengurangi impor LPG yang digunakan untuk memasak.
Baca Juga: Oversupply Listrik Tak Bisa Diselesaikan dengan Bagi-Bagi Rice Cooker Gratis
Di tengah tujuan tersebut, ada kebijakan bagi-bagi rice cooker gratis yang terkesan menjadi seperti ironi. Pasalnya, kebijakan bagi-bagi rice cooker secara cuma-cuma ini dicetuskan tatkala momentum harga beras yang melambung naik.
Dikutip dari laman Info Pangan Jakarta, Jumat (13/10/2023), harga beras masih terpantau naik mencapai Rp13.702 per kilogramnya untuk beras IR I (IR 64), sementara itu beras IR II (IR 64) ramos dibanderol dengan harga Rp13.018 per kilogramnya, kemudian untuk beras IR III (IR 64) harganya Rp12.525 per kilo.
Sedangkan untuk beras muncul I menyentuh Rp14.208 per kg, beras IR 42/pera Rp14.853 per kg, dan beras setra I/premium sebesar Rp14.135 per kg.
Perubahan rata-rata harga beras ini terjadi hampir di semua lini. Berdasarkan catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan lalu secara detail harga beras di tingkat konsumen mencapai Rp13.799 sementara di tingkat grosir sebesar Rp13.037.
Baca Juga: KLHK Klaim Kendaraan Listrik Solusi Polusi Udara Jakarta
Menanggapi kebijakan bagi-bagi rice cooker yang seolah tidak tepat momentum ini, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah menegaskan bahwa urgensi kebijakan tersebut patut dipertanyakan. Paslanya, ketersediaan dan akses terhadap pangan di tengah situasi saat ini menjadi prioritas penting yang mesti diurus oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Soal urgensi, tentu saja ini jadi pertanyaan kita semua. Apakah bukan lebih urgen jika kemudian pemanfaatannya untuk menopang sektor pertanian, kata dia dalam keterangannya, Jumat (13/10/2023).
Kendati demikian, dia tidak menampik bahwa kebijakan tersebut terlahir dari alasan terselubung pemerintah itu sendiri. salah satunya yakni menyerap listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengalami over supply.
Baca Juga: Pemerintah Harus Tegas! PLN Jangan Mau Didikte Asing
Fenomena over supply ini apabila merujuk ke laporan Statistik PLN 2021 sudah terlihat setidaknya sembilan tahun terakhir. Total pasukan listrik dari PLN pada periode 2013 hingga 2021 baik yang diproduksi sendiri maupun dibeli dari pihak lain jumlahnya selalu lebih banyak sekitar 28 ribu hingga 30 ribu GWh daripada total listrik yang telah terjual.
Hal tersebut terulang lagi pada tahun ini. Over supply ini juga terjadi khususnya di sistem kelistrikan Jawa-Bali dengan cadangan daya terhadap beban puncak sebesar 44 persen.
Jika memang demikian, ini bisa dimanfaatkan (kelebihan) listrik itu untuk pengolahan pangan lokal untuk menggantikan beras misalnya. Kita jadi bertanya apa maksud di balik kebijakan ini. Apakah ada persoalan atau tujuan lain di balik kebijakan ini? Karena seperti tidak sensitif situasi yang ada, ucap Said.
Editor : Pahlevi