Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Dulu ketika Orde Baru menggantikan Orde Lama pasca pemberontakan G30S PKI tahun 1965; pemerintah Orde Baru (Orba) dibawah kepemimpinan Jenderal TNI Soeharto berusaha untuk memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk sebelumnya dimana tingkat inflasi sempat mencapai 650%, kemiskinan di mana-mana dan sebagainya. Untuk itu Pak Soeharto membentuk tim ekonomi yang tangguh yang terdiri dari para ekonom senior.
Baca Juga: Ketidakpastian Politik Juga Penyebab Jatuhnya Harga Saham
Mereka yang pakar di bidang ekonomi makro, keuangan dan perdagangan internasional itu dikenal dengan julukan Berkeley Mafia atau Mafia Berkeley. Karena mereka di tahun 1973 menentukan kebijakan ekonomi Indonesia dan pemikirannya dianggap berkiblat penuh pada Amerika Serikat dan menjadi alat kepentingan Amerika Serikat.
Istilah "Berkeley Mafia" diatas pertama kali dicetuskan oleh seorang aktivis-penulis 'kiri' AS, David Ransom, dalam sebuah majalah bernama Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Istilah ini merujuk pada ekonom-ekonom Indonesia lulusan Universitas California, Berkeley yang menjadi arsitek utama perekonomian Indonesia pada tahun 1960-an. Dalam artikel tersebut Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Soekarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukan Soeharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat.
Pada hari saya menulis artikel ini, Senin tanggal 24 Maret 2025 CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) Rosan Roeslani mengumumkan daftar pengurus lembaga tersebut pada Senin (24/3/2025).
Saya tidak tahu persis hubungannya, apakah karena Pak Rosan itu mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat dan alumni Oklahama State University Amerika Serikat maka nama-nama pengurus Danantara yang disebut itu banyak yang memiliki latar belakang sekolah di berbagai Perguruan Tinggi Amerika Serikat. Mereka itu orang-orang muda yang punya pengalaman dibidang investasi dan keuangan.
Dalam daftar pengurus itu ada juga warganegara asing sebagian besari warga Amerika Serikat seperti Ray Dalio (Dewan Penasihat) seorang investor paling berhasil di dunia, beliau juga penasihat makro ekonomi di banyak negara, ada Chapman Taylor (Penasihat) yang dikenal manajer portfolio ekuitas. Yang dari negara ASEAN ada mantan Perdana Menteri Thailand (Dewan Penasihat) Thaksin Shinawatra. Mereka mengisi posisi di dewan penasihat Danantara yang juga lulusan Perguruan Tinggi AS yaitu Eastern Kentucky dan Sam Houston State University. (Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair tidak disebut dalam pengumuman pengurus Danantara).
Dengan latar belakang seperti itu apakah bisa disebut lembaga Danantara itu sangat pro Amerika Serikat atau barat seperti menteri-menteri kabinet jaman Orde Baru dulu? Saya sendiri tidak begitu yakin, karena diantara orang asing yang berada di Dewan Penasihat itu ada nama Prof. Jeffry Sachs yang lulusan Harvard University punya banyak pengalaman dan menulis banyak buku terkait ekonomi.
Prof. Jeffry Sachs inilah yang sering berbicara blak-blakan mengkritik kebijakan luar negeri negaranya sendiri yang penuh kebohongan dan menimbulkan peperangan di mana-mana di dunia ini. Beliau juga secara terbuka berbicara diberbagai kesempatan di Eropa seperti Parlemen Eropa dan menasihati para pemimpin negara -negara Eropa untuk tidak selalu "mem-bebek" pada Amerika Sserikat khususnya dalam kasus perang di Ukraina melawan Rusia, karena AS menjadikan Ukraina sebagai proxy dan menyeret Eropa kedalam pusaran perang yang mengerikan bahkan menyebabkan Perang Dunia III.
Prof. Jeffry Sachs yang sekarang masuk di jajaran Danantara itu juga sering menasihati para politisi dan pemimpin Eropa dengan mengutip kata-kata yang diucapkan mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger bahwa "menjadi musuh Amerika Serikat itu berbahaya, tapi menjadi kawan AS itu (berakibat) fatal".
Baca Juga: Usulan Genjatan Senjata di Ukraina Jebakan Bagi Putin?
Editor : Pahlevi