Optika.id - Baru-baru ini, muncul ketakutan dan keresahan atas inovasi Wolbachia untuk mengatasi masalah DBD di Indonesia. hal tersebut cukup beralasan lantaran program baru ini memang perlu dilaksanakan dengan keterbukaan serta komunikasi yang baik kepada masyarakat. Akan tetapi, keresahan dan skeptisisme masyarakat sering ditunggangi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang bisa membelokkan kebenaran informasi untuk kepentingan pribadi. Salah satu hoaks perihal kesehatan adalah program Wolbachia yang ditolak di Bali.
Menanggapi hal tersebut, Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menyebut jika misinformasi dan hoaks di sektor kesehatan kerap dan rawan terjadi. Dirinya juga menyoroti bahwa hoaks di sektor kesehatan sering datang berulang tiada henti.
Baca Juga: Pemilu Serentak Masih Rawan Hoaks dan Kampanye Hitam, Masa Lalu Terulang Kembali?
Menurut saya hal ini lebih mendasar, bukan rasa skeptis terhadap teknologi, tapi kemampuan kita berpikir kritis (critical thinking) itu masih rendah. Termasuk, ya saya tidak bisa menutup mata, di antara teman-teman Nakes sendiri (ada), ujar Grace, dalam keterangannya, dikutip Optika.id, Rabu (29/11/2023).
Hoaks dalam sektor kesehatan, sebutnya, sebenarnya jarang menimbulkan kefatalan yang berarti. Pasalnya, menurut Grace biasanya hoaks tidak akan merugikan orang secara spesifik. Akan tetapi, hoaks semakin bersirkulasi lantaran banyak individu yang merasa ingin menyebarkan informasi palsu itu ke orang lain.
Lebih lanjut, dirinya meragukan bahwa penolakan program Wolbachia di Bali berasal dari akar rumput. Pasalnya, dia mengamati selama ini narasi skeptisisme atau penolakan masyarakat dibangun lewat medsos dan kental dengan motif yang beraroma politik.
Sama seperti kalau di daerah, beberapa kali saya amati, masyarakat di bawah paham mengenai program dan mendukung. Tapi memang kemudian ada pihak-pihak yang bilang tidak setuju, dan pas kami ajak dialog, ternyata mereka bukan dari daerah tersebut, tutur Grace.
Maka dari itu, untuk membenahi persoalan ini dia menekankan pentingnya sosialiasi program Wolbachia dengan lebih jelas kepada masyarakat dari segala lapisan baik atas ke bawah. Hal ini juga memerlukan dialog dengan ketua masyarakat adat setempat dan melakukan rembug bersama.
Baca Juga: Pemilu Anti Hoaks, Ini Caranya Menangkal Kabar Bohong Jelang Pemilu 2024!
Yang belum saya lihat justru tindakan yang lebih tegas kepada mereka yang menyebarkan hoaks kesehatan ini. Tidak pernah ada yang sampai diproses hukum, kata Grace.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih lanjut, teknologi Wolbachia di Indonesia telah diteliti sejak tahun 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Dalam penelitian itu, Adi Utarini yang akrab dipanggil Utut menepis anggapan bahwa nyamuk Wolbachia adalah rekayasa genetika. Dia menegaskan bahwa baik nyamuk maupun bakteri Wolbachia secara materi genetic yang digunakan identic dengan organisme yang ditemukan di alam.
Analisis risiko yang telah dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan bahwa risiko dampak buruk terhadap manusia atau lingkungan dapat diabaikan kata Utut dalam keterangan resmi di media beberapa waktu lalu.
Senada, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman menegaskan bahwa penolakan program Wolbachia di Bali merupakan sinyal lemahnya strategi komunikasi risiko pemerintah. Pemerintah menurutnya cenderung terlalu terburu-buru dalam melaksanakan program inovasi baru tanpa melibatkan komunikasi yang baik dengan masyarakat setempat.
Baca Juga: Jangan Asal Fogging Walau Banyak Nyamuk, Kenapa?
Ini adalah bukti nyata kegagapan pemerintah dalam strategi komunikasi risiko, ujar Dicky.
Maka dari itu, Dicky menjelaskan bahwa pemeirntah harus tegas dan berhasil menjawab keresahan serta ketakutan masyarakat terkait dengan program Wolbachia ini. Di sisi lain, dia menyoroti bahwa Indonesia masih belum cukup mumpuni dalam mengatasi misinformasi serta hoaks dalam sektor kesehatan.
Dan ini tentu berbahaya karena ketika misalnya ada inovasi yang efektif, ya ini akhirnya enggak bisa dijalankan. Ketika ada obat yang efektif, nggak bisa dijalankan. Atau program yang baik, ya enggak bisa dijalankan, kata Dicky.
Editor : Pahlevi