BPK Itu Kastanya Tinggi Jangan Dicemari Praktek Tak Terpuji

author Dani

- Pewarta

Kamis, 23 Mei 2024 18:16 WIB

BPK Itu Kastanya Tinggi Jangan Dicemari Praktek Tak Terpuji

Surabaya (optika.id) - Ketika saya bekerja di dua bank internasional dari Jepang dan Belanda saya menyaksikan bahwa apabila ada calon nasabah – biasanya perusahaan besar yang export oriented maka kedua bank internasional itu memintah perusahaan menyerahkan Audited Financial Report atau Laporan Keuangan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang terkenal. Kedua bank tersebut tentu menolak apabila ada calon nasabah yang menyerahkan Laporan Keuangan yang tidak diaudit karena jelas dicurigai ketidak validannya semua angka-angka yang ada dalam laporan keuangan itu, karena angka-angka dalam pos balance sheet atau neracanya “a doctored - figures” atau angka-angka yang direkayasa, dimanipulasi. Misalnya nilai aset tetap digelembungkan, nilai trade account receivables atau piutang dagang dibesarkan, net profit atau keuntungan netto nya juga di rekayasa dsb. Tentu ada uang (sogokan) kepada auditor yang membuat angka-angka fiktif itu.

Kalau negara itu diibaratkan sebagai perusahaan, maka seluruh unit perusahaan dalam hal ini lembaga-lembaga pemerintahan dari pusat sampai daerah harus menyerahkan Laporan Keuangannya bukan ke Kantor Akuntan Publik seperti pada kasus bank diatas, namun diserahkan pada lembaga yang agung karena dibentuk oleh Undang-Undang Dasar dan statusnya sejajar dengan lembaga Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung yaitu Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK. Jadi BPK itu statusnya lebih bergengsi daripada Kantor Akuntan Publik yang terkenal didunia. Ibaratnya status BPK itu kasta yang tinggi di negeri ini.

Baca Juga: Diiming-imingi HGU 500 tahun pun Investor Belum Mau Masuk

Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK itu dibentuk pada 1 Januari 1947. Berdasarkan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945, tugas dan wewenang BPK menurut UUD 1945 adalah memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Ini penting, karena yang diperiksa itu bukan uang perusahaan yang skope nya kecil, namun keuangan negara yang dikelola oleh berbagai lembaga negara.

Sayangnya lembaga tinggi negara ini dipakai rebutan partai politik agar memasukkan nama-nama kader politiknya untuk menjadi pimpinan dan jajaran eselon tingginya, meskipun nama-nama yang diajukan partai politik itu sama sekali “Nol-Putul” – bahasa Surabayanya yang mengatanan “Tidak Tahu Sama Sekali”, atau tidak memiliki pengetahuan dibidang keuangan misalkan neraca, cash ratio atau rasio kas dsb dsb. Tentu tugas-tugas pemeriksaan keuangan lembaga-lembaga negara diserahkan kepada para auditor yang ada di BPK.

Sayangnya juga lembaga tinggi BPK ini tercemar berbagai tindak korupsi. Ketika saya men-share tayangan Instagram tentang berbagai tindak korupsi yang terjadi di BPK antara lain meminta uang suap agar hasil pemeriksaan keuangaanya WTP atau Wajar Tanpa Pengecualian – sahabat saya yang menerima share saya itu nyletuk dalam bahasa Surabaya “Ket Biyen Cak” atau hal seperti sudah lama terjadi.

Baca Juga: Di Tempat Saya Satu Bungkus Nasi Rp 5.000,-

BPK melalui laporannya yang diharapkan menjadi perwakilan rakyat menemukan berbagai pelanggaran tersebut, justru turut terjerat pada berbagai kasus korupsi. Misalnya, kasus korupsi eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang dalam persidangan terungkap keterlibatan peran dua auditor BPK yang meminta uang Rp12 miliar demi ’memoles’ laporan keuangan menjadi predikat ’Wajar Tanpa Pengecualian’ (WTP).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu, ada juga kasus pimpinan BPK, Achsanul Kosasih, dalam kasus korupsi menara BTS yang diduga Kejaksaan Agung menerima uang Rp 40 miliar.Sebelumnya, terdapat berbagai kasus lain yang sudah menjerat personil BPK, misalnya Anggota IV BPK, Rizal Djalil (2019) yang menerima uang SGD 100 ribu pada kasus suap proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Lalu, ada juga kasus 2017 yang melibatkan auditor BPK, Ali Sadli dan pejabat Eselon 1 BPK, Rochmadi Saptogiri dalam kasus suap pemberian opini WTP dalam laporan keuangan Kementerian Desa Tahun Anggaran 2016.

Baca Juga: Komunikasi Politik Yang Menyentuh Perasaan

Kalau kita tulis berbagai kasus korupsi dilingkungan BPK dari berbagai sumber seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) maka artikel saya bisa banyak halamannya dan itu tidak mungkin mengingat keterbatasan halaman di media ini.

Mengembalikan marwah BPK sebagai lembaga negara yang kedudukannya tinggi harus menjadi perhatian dan BPK tidak boleh menjadi ajang perebutan kepentingan politik.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU