Optika.id - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan krisis di Eropa memiliki dampak yang harus diwaspadai oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Sebab, dampak tersebut memiliki tiga transmisi yang berpengaruh ke Indonesia baik jangka pendek maupun panjang.
Baca Juga: Utang Negara Tembus 8 Ribu Triliun, Jokowi Malah Tarik Utang Rp90 Triliun dalam Sebulan!
Hal yang pertama yakni transmisi dari efek moneter karena inflasi yang tinggi, suku bunga naik membuat investor global melakukan pengalihan aset ke instrumen berdenominasi dolar AS.
Menurutnya, dana asing yang keluar berimbas sampai ke negara berkembang dengan penurunan penyerapan surat berharga negara (SBN) oleh investor asing.
Jika berlanjut penguatan indeks dollar di atas level 114, maka rupiah bisa melemah. Dalam waktu dekat Rupiah bisa menyentuh range 15.400-15.500 per dollar AS, ucapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (29/9/2022).
Transmisi yang kedua yakni terkait dengan perdagangan dimana pelemahan permintaan di Eropa baik bahan baku maupun barang konsumsi membuat banyak prospek ekspor Indonesia terpengaruh.
Hal ini terjadi moderasi juga pada harga komoditas contohnya harga sawit kembali ke posisi Juni 2021.
Transmisi yang ketiga ialah pendapatan berbagai sektor yang menurun. Disusul dengan efek psikologis konsumen yang menahan belanja mengakibatkan guncangan perputaran ekonomi.
Misalnya, pembeli rumah menggunakan KPR di dalam negeri terdampak oleh naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Melemah di Tahun Pemilu?
Apalagi 78 persen pembelian rumah menggunakan skema kredit pemilikan rumah (KPR), maka variabel suku bunga disertai tingginya inflasi menyurutkan minat pembelian sektor properti, ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh sebab itu, dirinya meminta pemerintah selalu awas terhadap krisis di Eropa dan peka dengan dinamika global. Pemerintah menurutnya perlu memperkuat pertahanan moneter dengan mendorong masuknya devisa hasil ekspor terutama sektor berbasis komoditas yang selama ini menikmati booming harga.
Pemerintah juga harus memberikan relaksasi bagi konsumen dalam negeri melalui pengurangan tariff pajak pertambahan nilai (PPN) yang semula 11 persen, menjadi 8 persen selama dua tahun.
Di sisi lain, selama proses kontraksi permintaan di Eropa terjadi, pemerintah juga diharuskan mencari pangsa pasar alternative ekspor misalnya ke Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
Bhima juga meminta pemerintah untuk memberikan insentif lebih besar ke sektor properti melalui peningkatan belanja FLPP, subsidi uang muka rumah, dan kredit konstruksi dengan bunga yang lebih rendah.
Baca Juga: Masyarakat Diminta Lakukan Gaya Hidup Ramah Lingkungan Untuk Dukung Ekonomi Hijau
Mengarahkan belanja pemerintah counter-cyclical yakni mempertebal belanja perlindungan sosial yang baru mencapai 2,5 persen dari PDB, idealnya dalam kondisi tekanan ekonomi perlindungan sosial dinaikkan menjadi empat sampai lima persen dari PDB, jelasnya.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi