Kenali Warisan Trauma Keluarga yang Ciptakan Rantai Konflik Berkepanjangan

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 20 Okt 2023 14:27 WIB

Kenali Warisan Trauma Keluarga yang Ciptakan Rantai Konflik Berkepanjangan

Optika.id - Keluarga bisa menciptakan rasa aman, nyaman, dan juga cinta kasih di dalamnya. Namun di sisi lain, keluarga bisa menjelma sebagai tempat yang penuh trauma bagi salah satu anggotanya. Yang mengerikan, rasa trauma ini bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Istilah untuk menyebut rasa trauma yang diwariskan ini secara ilmu psikologi disebut dengan trans generational trauma atau warisan trauma keluarga. Warisan keluarga ini nyatanya tidak hanya menyentuh aspek finansial dan fisik semata, melainkan juga aspek emosional.

Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?

Psikolog anak dan keluarga, Samanta Elsener dalam keterangannya menjelaskan bahwa dinamika keluarga antar lintas generasi ini secara tidak langsung mempengaruhi aspek emosional yang menciptakan rantai trauma berkepanjangan. Trauma yang berantai ini bisa saja datang dari masa lalu dan terkait dengan peristiwa yang tidak mengenakkan di masa kecil.

Tak hanya peristiwa masa lalu, trauma juga bisa datang dari orang tua di generasi sebelumnya baik secara sadar maupun tidak. Dalam dunia psikologi, ujar Samanta, hal ini kerap dikaitkan dengan developmental trauma atau yang lebih sering dikenal dengan istilah inner child trauma. Maka dari itu, diperlukan segala cara untuk memutuskan rantai warisan trauma dalam keluarga.

“Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam melakukan proses napak tilas, menemukan jawaban dari teka-teki dan puzzle yang bisa bermanfaat bagi kita menemukan diri sendiri,” jelas Samanta, dalam keterangannya, Jumat (20/10/2023).

Kegiatan napak tilas ini menurut Samanta bisa membantu proses penyembuhan dari trauma yang mungkin sulit dijelaskan. Ini juga membantu proses pelepasan emosi terhadap beban masa lalu orang tersebut.

“Apapun itu beban emosinya,” imbuh Samanta.

Memutus Rantai Trauma Keluarga

Permasalahan warisan trauma keluarga ini faktanya telah banyak dialami oleh ahli psikologi di seluruh dunia. Salah satu yang mengalami adalah pencetus family constellation therapy yakni Bert Hellinger. Hellinger memakai metode pendekatan pemulihan yang bertujuan untuk menyembuhkan warisan trauma keluarga yang tanpa disadari bisa menciptakan kerugian dan ketidakoptimalan dalam hidup individu sebagai anggota keluarga.

Teori Hellinger ini sudah diadaptasi ke lebih dari 35 negara di dunia untuk mengentaskan masalah trauma dalam keluarga.

Adapun family constellation therapy ini, dalam keterangan yang sama, dijelaskan oleh Meilinda Sutanto selaku Founder Family Constellation merupakan metode yang cukup efektif untuk memutus rantai toxic dan berbagai trauma beurlang dalam keluarga. Meilinda menjelaskan jika pendekatannya mengacu pada 5 prinsip dasar.

Baca Juga: Berbagai Faktor Bisa Buat Orang Bunuh Diri, Segera Dampingi Orang Terkasih!

Prinsip pertama yakni orang tua memberi dan anak menerima. Dengan kata lain, orang tua memberikan apa yang dibutuhkan anak, yakni cinta. Sementara itu, anak menerima cinta dalam satu aliran arah dari yang paling tua hingga paling muda. Mulai dari moyang, hingga ke cicit. Anak dalam prinsip ini bahkan tidak memiliki kewajiban memberi cinta kepada orang tuanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Asumsinya adalah orang tua sudah mendapatkan rasa cinta yang penuh dari orang tua sebelumnya, maka dia sudah terpenuhi sendiri (rasa cintanya),” jelas Meilinda.

yang kedua, anak harus fokus menabung tangki cintanya sendiri, dan disimpan untuk keluarga barunya nanti di masa depan. Dari aspek ayah dan ibu dalam keluarga, mereka perlu menciptakan dinamika yang sehat melalui pola memberi dan menerima yang seimbang nan setara satu sama lain. hal ini diharapkan bisa mendorong keluarga yang fungsional antara pasangan yang nantinya akan mempengaruhi pola pengasuhan anak.

Sementara itu yang ketiga adalah semua orang memiliki hak yang sama dalam anggota keluarga. Prinsip ini menurut Meilinda sangat krusial lantaran bisa menyelesaikan pola berulang masalah dan trauma dalam keluarga. Apabila konflik tidak segera selesai, maka konsep ini mempercayai bahwa masalah yang sama bisa berulang kembali untuk generasi berikutnya. 

Dengan kata lain, prinisp ketiga ini mengajarkan keluarga perihal unconditional love. Yakni menerima segala kesalahan anggota keluarga dengan apa adanya serta berjalan bersama dalam proses tersebut.

Baca Juga: Kekerasan Tak Buat Anak Jadi Penurut dan Disiplin

Yang keempat yakni menjalani takdir hidup masing-masing. Meilinda menilai, apabila semua manusia bisa menjejak kakinya pada takdir masing-masing, maka kondisi pulih ini tidak menularkan trauma-trauma lainnya ke generasi berikutnya.

“Trauma itu terjadi karena semua orang ingin menjadi pahlawan dan memikul beban orang lain,” jelasnya. Artinya, orang tidak berjalan pada hidupnya masing-masing dan berusaha mengambil serta menyelesaikan beban dari orang tuanya dengan dalih ingin menjadi anak yang baik.
 
Terakhir, family constellation therapy ini percaya bahwa urutan cinta berperan penting dalam keluarga yang fungsional. Prinsipnya sama seperti mengurutkan prioritas dalam pekerjaan. Maka dari itu, Meilinda menjelaskan, siapa yang datang dahulu, maka dia lebih diprioritaskan dalam urusan cinta kasih.

“Anak tidak akan hadir tanpa ayah dan ibu, maka urutan cinta dimulai dari ayah dan ibu baru kepada anak-anak,” jelasnya.

Keluarga yang fungsional, ujar Meilinda, bukanlah mengedepankan konsep pengutamaan anak di atas segala-galanya. Kondisi itu malah berdampak disfungsional dalam keutuhan keluarga.

Menempatkan urutan cinta yang salah, imbuhnya, seperti mengutamakan anak dalam segala hal dibandingkan dengan pasangan justru akan membuat gap dan kecemburuan secara tidak sengaja yang akhirnya membentuk hubungan yang tidak baik antara kehidupan berpasangan dan kehidupan antara orang tua dan anak.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU