Langkah Darurat Pemakzulan Presiden

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 05 Feb 2024 17:09 WIB

Langkah Darurat Pemakzulan Presiden

Surabaya (optika.id) - Isu pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencuat kembali lantaran cawe-cawe nya selama ini dianggap mengerikan dalam permainan politik di Indonesia. beberapa waktu yang lalu, ratusan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mendorong pemakzulan terhadap Jokowi. Ada 10 alasan yang mendorong mereka untuk melakukan pemakzulan. Di antaranya adalah mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan melakukan nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam Petisi 100, juga disoroti Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang berpotensi diwarnai kecurangan juga. Sekitar 22 perwakilan dari Petisi 100 pun sempat menemui mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD guna menyampaikan aspirasinya.

Baca Juga: Guru Besar UGM Prediksi Jokowi Kembali Cawe-Cawe di Pilkada

"Mereka menyampaikan, ... pemilu ini berjalan curang. Oleh sebab itu, nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga, mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan," kata Mahfud tentang "isi kepala" Petisi 100 saat bertemu dengannya.

Kondisi Rem yang Blong

Menurut Pengamat Hukum dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Ismail Rumadan, mekanisme pemakzulan sejatinya telah tertuang dalam UUD 1945. Namun pada intinya, untuk melakukan pemakzulan, diperlukan keterlibatan dari lembaga-lembaga negara seperti DPR, MPR dan MK.

Mula-mula, DPR menggunakan hak angketnya untuk menyelidiki kebijakan yang diduga melanggar konstitusi serta melampaui batas kewenangan seperti yang tercantum pada Pasal 7A UUD 1945 yakni mengkhianati negara, melakukan korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, tindak pidana berat lainnya hingga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Lalu, mereka mengajukan hak menyatakan pendapat (HMP) agar bisa membawa kepala pemerintahan ke MK untuk selanjutnya diadili dan diputuskan dugaan pelanggaran presiden tersebut. Apabila putusannya terjadi pelanggaran konstitusi, maka MPR segera menggelar sidang paripurna dengan agenda pemakzulan.

"Namun, upaya ini tidak mendapat tanggapan dari wakil rakyat (DPR, red) utuk menguji secara faktual melalui penggunaan hak angket yang melekat pada DPR, apakah dugaan [yang dituduhkan kepada Jokowi oleh Petisi 100] tersebut terbukti atau tidak. DPR malah mendiamkan dengan membiarkan dugaan pelanggaran presiden menjadi kontroversi di tengah masyarakat," kata Ismail ketika dihubungi, Senin (5/2/2024).

Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini pun menilai bahwa kondisi tersebut sudah seperti sebuah bus yang mengalami rem blong saat kendaraan melaju cepat di jalan tol. Maka dari itu, sudah semestinya sopir mengarahkan kendaraannya ke jalur darurat demi keselamatan para penumpang.

Baca Juga: Khofifah Effect di Pilpres 2024 Akan Berlanjut pada Pilkada se-Jatim

"Tidak mungkin sang sopir tetap mengarahkan arah bus pada jalan normal. Akibatnya, bisa terjadi tabrakan beruntun yang membahayakan banyak orang dan memakan banyak korban," ucap dia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Analogi sederhana di atas, sambungnya, menegaskan sebuah pemahaman bahwa isu pemakzulan presiden saat ini tidak bisa dipahami dalam pemahaman yang formalistik. Pasalnya, ada kondisi di mana mekanisme konstitusi yang tersedia secara formal tidak memungkinkan untuk diterapkan secara normal karena sangat rumit dan berbelit-belit.

Namun, di saat yang sama, instrument dan kelembagaan negara yang tersedia secara formal tidak bisa menjamin bahkan tidak berfungsi sebagai mana mestinya karena tersandera oleh berbagai kepentingan politik pragmatis.

Sementara, laju kerusakan negara akibat berbagai dugaan pelanggaran Presiden Jokowi semakin parah sehingga perlu mengambil langkah darurat untuk menghentikan gerak laju sang presiden agar daya rusak negara yang ditimbulkan tidak menjadi besar," imbuhnya.

Baca Juga: Ini Prediksi Pakar Soal Putusan MK pada Sengketa Hasil Pilpres 2024

Oleh sebab itu, Ismail mendorong adanya langkah darurat di luar jalur formal untuk memproses segala dorongan pemakzulan. Hal ini ditegaskan sekali lagi olehnya, disebabkan oleh instrument negara yang berwenang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

"Pemakzulan ini tidak sesuai dengan UUD 1945 meskipun MPR yang menurunkannya secara resmi. Kondisi ini terjadi karena secara de facto, Soeharto memegang kekuasaan negara. Sehingga, pemakzulan terhadap presiden pertama ini dilakukan dengan cara 'kudeta secara halus'. Selanjutnya, Presiden Soeharto yang dimakzulkan dengan paksaan setelah secara de facto rakyat sudah tidak lagi mendukungnya. Demikian halnya juga dengan proses pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid," jelasnya.

Secara substansial, tegasnya, rakyatlah yang mempunyai daulat atas negara ini. Dengan demikian, sistem yang saat ini tersedia haruslah menjamin rakyat karena sistem saat ini hanyalah alat untuk mewujudkan daulat rakyat tersebut.

Saat sistem sebagai alat tidak lagi berfungsi, maka sang pemilik daulat harus berteriak dengan suara lantang agar kedaulatan rakyat tidak dikhianati dan segera dikembalikan kepada pemilik daulat sesungguhnya," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU