Peristiwa Kudatuli Bentuk Cawe-Cawe Pemerintah

author Pahlevi

- Pewarta

Sabtu, 27 Jul 2024 09:22 WIB

Peristiwa Kudatuli Bentuk Cawe-Cawe Pemerintah

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: Mengenang Sang Profesor Yang Santun

Surabaya (optika.id) - Saya melihat tayangan saluran TV yang menyiarkan bahwa PDI-P menyelenggarakan acara mengenang tragedi Kudatuli yang terjadi tepat pada tanggal saya menulis artikel ini yaitu 27 Juli. Sebuah peristiwa sejarah kelam politik Indonesia 28 tahun lalu.

Saya pada jaman Orde Baru dulu disamping membaca surat kabar atau mendengarkan radio dan TV untuk mendapatkan berita-berita politik, saya juga mendapatkan informasi dari orang yang profesinya memang dibidang politik yaitu almarhum sahabat saya Dr. Taufikurahman Saleh, alumni Fakultas Hukum Unair dan mengawali karirnya di PPP atau Partai Persatuan Pembangunan dan pernah menjadi Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya (setelah itu almarhum masuk PKB dan berkarir lama sebagai anggota DPR pusat).

Dari Taufik, atau Cak Opik begitu para aktivis mahasiswa Surabaya memanggilnya, saya mendapatkan first- hand information bagaimana pemerintah Orde Baru yang dipimpin almarhum Jendral Suharto dan didominasi oleh militer utamanya TNI AD selalu mengacak-acak kepengurusan baik organisasi politik maupun organisasi masyarakat. Apabila organisasi organisasi itu melakukan kongres untuk memilih ketua dan pengurus yang baru maka pemerintah Orde Baru selalu ikut campur tangan dengan cara memaksakan calon ketua yang pro pemerintah Orde Baru untuk menjadi ketua. Apabila ada calon yang tidak disukai pemerintah maka dengan segala cara pihak pemerintah/militer berusaha menggagalkannya termasuk dengan cara kekerasan.

Cara kekerasan ini yang menimpa PDI Partai Demokrasi Indonesia (belum PDIP) 28 tahun lalu, peristiwa itu dikenal sebagai Kudatuli singkatan dari Kerusuhan 27 Juli. Itu adalah peristiwa kekerasan yang terjadi di kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa Kerusuhan itu terjadi di Kantor Sekretariat DPP PDI, Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat.

Baca Juga: Pernyataan Provokatif Menteri Israel yang Berbahaya

Pecahnya peristiwa Kudatuli dikaitkan dengan konflik internal partai saat Kongres IV PDI. Kongres itu menetapkan Soerjadi (yang didukung rejim Orba) sebagai Ketua Umum PDI. Diberitakan Harian Kompas, 22 Juli 1993, hari pertama Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara diwarnai kericuhan. Ada pengambilalihan pimpinan sidang oleh Yacob Nuwa Wea yang mengaku sebagai fungsionaris dari DPP PDI Peralihan, bersama 400 rekannya yang menerobos ruang kongres. Saat itu ada dua kubu dalam internal PDI. Kubu pertama mendukung Soerjadi dan satu lagi ada di kubu Megawati Soekarnoputri. Akibat suara yang tidak bulat, kericuhan ini berbuntut keputusan Menkopolkam Soesilo Sudarman yang mengatakan Kongres Medan tidak sah dan akan digelar kongres luar biasa (KLB) di Surabaya. Namun, KLB di Surabaya gagal. Megawati menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto dan dikukuhkan melalui Musyawarah Nasional (Munas) PDI pada 22 Desember 1993 di Kemang, Jakarta Selatan. Sementara, Soerjadi membentuk panitia penyelenggara KLB di Medan pada 20-23 Juni 1996. Hasil KLB memutuskan Soerjadi sebagai ketua umum. Pendukung kedua kubu tak menemui titik temu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lalu pada tanggal 27 Juli itu sejumlah masa yang menyerbu kantor PDI di Jalan Diponegoro Menteng Jakarta itu. Ada yang memberitakan bahwa penyerbuan itu dilakukan oleh pasukan pemerintah. Peristiwa itui diikuti oleh kerusuhan selama dua hari di Jakarta dani meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar. Pemerintah saat itu menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.

Penyerbuan dengan cara paksaan itu menurut Komnas HAM berdasarkan hasil penyelidikannya terdapat sejumlah korban akibat peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 tersebut antara lain: lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Adapun kerugian materiil akibat tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Komnas HAM juga melaporkan di bawah pimpinan Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa, Komnas HAM melakukan dan memukan adanya indikasi terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Tidak hanya itu saja. Pada tahun 2003, juga dilakukan penyelidikan lanjutan atas peristiwa kelam dalam sejarah politik Indonesia tersebut.

Baca Juga: Demokrasi Seakan-akan..

Almarhum presiden Subarto dikenal sebagai seorang ahli strategi militer yang handal sehingga operasi campur tangannya itu dilakukan dengan cara senyap, melibatkan pasukannya yang menyamar sebagai kelompok masa yang memakai seragam partai, juga melibatkan sejumlah preman yang dibayar. Meskipun, Pak Suharto adalah orang Jawa dari Yogyakarta, beliau tidak menggunakan kata Jawa Cawe-Cawe dalam operasi campur tangannya itu terhadap partai politik dan organisasi masyarakat.

Jaman sekarang, mungkin karena kemajuan jaman, maka meskipun secara terbuka menyebutkan Cawe-Cawe itu boleh dilakukan seorang presiden, namun operasi cawe-cawe nya itu lebih canggih atau sophisticated artinya tidak menggunakan aparat keamanan atau preman namun menggunakan cara-cara licin misalkan menggunakan Buzzer yang dibayar dan menggunakan cara merubah Undang-Undang atau Peraturan Hukum agar bisa tercapai tujuan cawe-cawe nya itu; dan apabila ditanya awak media soal perubahan UU atau perturan itu, maka dijawab dengan mudah nya kok tanya saya?, atau saya gak tahusimple as that.

Wallahu alam.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU