Legitimasi Pancasila Demi Oligarki, Pemerintah Seperti Pemerintahan Orba!

author Seno

- Pewarta

Selasa, 01 Feb 2022 05:52 WIB

Legitimasi Pancasila Demi Oligarki, Pemerintah Seperti Pemerintahan Orba!

i

FB_IMG_1643288611252

Optika.id - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas mengkritisi pembahasan super cepat atau kilat Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI. Busyro menegaskan, pemerintah saat ini tak ubahnya pemerintahan Orde Baru (Orba) yang kerap melegitimasi Pancasila demi kepentingan oligarki.

Melalui Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, lanjutnya, pemerintah kerap melakukan tafsir sepihak terhadap Pancasila yang justru menunjukkan ketidakkonsistenan mereka dan kerap mengingkarinya.

Baca Juga: Bivitri: Pilpres 2024 Masih Bisa Diperdebatkan!

Hal itu disampaikan ketika menjadi pembicara dalam diskusi berjudul 'Ibu Kota Negara untuk Siapa?' yang digelar oleh Program Studi Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman bekerja sama dengan Constitutional and Administrative Law Society (CALS) secara online yang diikuti oleh Optika.id, Senin (31/1/2022).

Menurut Busyro, DPR menunjukkan cara ugal-ugalan membahas UU tersebut. Anggota dewan, lewat koalisi partai politik di parlemen hanya menjadi kepanjangan tangan dari ambisi politik pemerintah sebagai eksekutif.

"Ini sebuah ironi yang menyayat martabat rakyat. Rakyat diposisikan sebagai sapi perah oligarki. Dalam siklus pemilu, pilkada. Ini juga merupakan fakta durhaka berlapis. Dalam bahasa arabnya durhaka murokab terhadap rakyat," jelas Ketua PP (Pengurus Pusat) Muhammadiyah ini.

Busyro mengatakan, UU IKN adalah ambisi politik pemerintah yang oportunis. Kondisi itu tak berbeda saat PP Muhammadiyah yang sempat mengkritik pemerintah lewat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pemerintah kata Busyro tutup mata terhadap semua masukan warga sipil.

"Tapi, pemerintah nekat. Nekat sekali. Dan sudah menabrak rambu-rambu APBN. Nah, ini diulang lagi, diulang lagi dengan ambisi yang berlebihan. IKN tadi. Dengan proyek IKN yang abai terhadap potensi dampak destruktif terhadap keamanan lingkungan, bahkan dikhawatirkan konflik horizontal. Sekaligus menguatnya mentalitas politik tutup mata," paparnya.

Pemerintah Layani Kepentingan Oligarki

Hal senada dikatakan oleh Kepala Kampanye Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), Melky Nahar yang juga tampil sebagai pembicara. Dia menegaskan, pemindahan IKN, berikut pengesahan RUU IKN oleh DPR RI, mempertegas watak pemerintahan Jokowi-Maruf Amin dan politisi di Senayan yang cenderung bekerja melayani kepentingan oligarki. Daripada memperjuangkan keselamatan rakyat dan lingkungan. Tak hanya abai soal perekonomian, kepemimpinan Jokowi dianggap tak mendengar suara penolakan warga yang berpotensi tergusur akibat pembangunan IKN.

Bahkan, kata Melky, ancaman terhadap perluasan kerusakan sosial-ekologis di Kalimantan Timur tidak menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan pemindahan IKN. Demikian juga dengan persoalan kerusakan ekologis di Jakarta yang sebelumnya menjadi alasan pemindahan IKN oleh Presiden Jokowi, bukannya diurus serius, justru lari dari masalah, katanya.

Pemindahan IKN, lanjutnya, justru akan menguntungkan para pemegang konsesi tambang, sawit, hutan, dan kayu yang telah lama menguasai lahan-lahan di IKN baru. Para pebisnis ini sebagian besar terhubung ke lingkaran Istana dan Senayan. Sebut saja seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo Subianto), Rheza Herwindo (anak Setya Novanto), dan Yusril Ihza Mahendra (Ketua Tim Pengacara pasangan Jokowi dan Maruf Amin dalam sengketa Pilpres 2019).

"Lantas, bagaimana skema pembebasan lahan yang telah dikuasai korporasi itu? Bagaimana pula skema perlindungan bagi warga lokal sehingga tidak terusir oleh pembangunan IKN tersebut?" Melky bertanya-tanya.

Dia menduga, skema pembebasan lahan yang dimiliki korporasi itu sarat transaksional. Terutama ketika wacana tukar guling lahan yang ujungnya, selain tetap menguntungkan korporasi, juga membawa ancaman baru bagi warga dan lingkungan setempat. Adapun jaminan bagi warga lokal di lokasi IKN untuk tidak tersingkir, cenderung diabaikan pemerintah. Semua untuk dan atas nama ambisi Presiden Jokowi.

Melky berpandangan, pemindahan IKN ini tidaklah urgent dan bahkan tidak perlu. Dengan demikian, memaksakan pemindahan IKN terus berlanjut, selain menghambur-hamburkan uang rakyat dan menambah utang baru juga menguntungkan korporasi. Kebijakan itu juga menunjukkan model pemerintahan Jokowi-Maruf yang serampangan dan ugal-ugalan.

Menurutnya, berdasarkan informasi yang sempat diunggah di situs Ikn.go.id, pemerintah menargetkan pembangunan ibu kota baru membutuhkan dana sebesar Rp 466,98 triliun. Kebutuhan anggaran ini dipenuhi dari APBN sebanyak Rp 91,29 triliun, kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sebesar Rp 252,46 triliun, serta duit badan usaha Rp 123,23 triliun. Itu hanya akan menghambur-hamburkan duit rakyat, tutur Melky.

"Presiden Jokowi dan DPR RI tampak tidak peduli dengan persoalan kesulitan ekonomi negara di tengah pandemi Covid-19, imbuhnya.

IKN Tanpa Gubernur dan DPRD, Tak Demokratis!

Keputusan Pemerintah Indonesia membuat Ibu Kota Negara Nusantara selevel provinsi dengan bentuk otorita tanpa gubernur dan DPRD dianggap berpotensi melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan tidak demokratis. Hal ini dikatakan Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti yang juga tampil sebagai pembicara. Dia menilai bentuk otorita di IKN nanti memungkinkan terjadinya 'otoritarianisme di tingkat lokal'. Karena hanya dikendalikan oleh eksekutif.

"Warga di IKN harus punya representasi. Harus. Kalau tidak, kita sudah melanggar konsep demokrasi yang sudah digariskan konstitusi kita," tegasnya.

Berdasarkan Undang-undang (UU) IKN, kepala otorita akan bertanggung jawab langsung kepada presiden, seperti halnya menteri. Pemerintah berdalih masalah representasi rakyat akan diatur kemudian dalam peraturan pemerintah dan peraturan presiden.

Baca Juga: Problematika Pemilu, Pasangan 02 Bisa Diskualifikasi?

Namun, Bivitri tidak sepakat jika fungsi legislatif di IKN Nusantara dilakukan oleh DPR RI karena mereka mewakili konstituen nasional. Sementara lingkup pengawasan yang dilakukan akan bersifat lokal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Kalau pengawasannya diambil alih DPR itu tidak bisa. Pengetahuan dan data yang dimiliki DPR RI di tingkat nasional akan sangat berbeda dengan cakupan, pengetahuan, dan data, di tingkat lokal. Harusnya tetap ada institusi-institusi demokratis," ujar Bivitri.

Kehadiran DPRD di IKN Nusantara dianggap penting untuk mengatur hal-hal teknis dan kehidupan masyarakat di daerah seluas 256.142 hektare itu, seperti halnya yang dilakukan DPRD DKI yang mengurus Formula E sampai sumur resapan dan DPR RI yang membuat Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Keduanya memiliki level yang berbeda, kata Bivitri.

Status IKN Nusantara yang merupakan daerah khusus setingkat provinsi, tapi tanpa peran legislatif dan pemimpin setara menteri, dinilai oleh berbagai pengamat hukum dan aktivis sebagai inkonstitusional atau tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Selain konsep IKN Nusantara yang dinilai inkonstitusional, pembuatan UU IKN juga dinilai berpotensi tidak sesuai dengan konstitusi, dilihat dari proses pembuatannya yang minim partisipasi, selain soal pembahasannya yang sangat cepat dan terkesan terburu-buru.

Bivitri menilai pelibatan ahli dalam pembangunan IKN Nusantara saja tidak cukup.

"Partisipasi yang bermakna itu nggak bisa hanya melihat kalau ahli sudah diundang dan menyatakan setuju. Partisipasi yang bermakna itu ketika warga yang akan terkena dampak harusnya diajak bicara, diajak berdialog," kata Bivitri.

DPR mengatakan sudah mengundang ahli sampai masyarakat adat dan sudah mengunjungi masyarakat secara langsung untuk mendengarkan aspirasi.

Dilihat dari pemilihan nama sampai desain ibu kota, Bivitri meragukan masyarakat lokal diberi ruang untuk memberi masukan.

"Dari awal ini maunya Presiden Jokowi dan orang-orang di sekelilingnya. Saya meragukan tujuan untuk kesejahteraan rakyat," tukasnya.

Kalaupun tujuannya untuk kesejahteraan rakyat, Bivitri mengatakan, "semua proses yang berjalan tidak akan diburu-buru karena semuanya harus direncanakan dengan baik."

Baca Juga: Bivitri Susanti: Masyarakat Mulai Sadar, Pemilu 2024 Banyak Kecurangan

Pemerintah diingatkan bahwa di lahan tempat pembangunan ibu kota baru terdapat warga adat yang sudah bermukim sekian generasi.

"Warga adat itu tinggal jauh sebelum ada gagasan pembangunan ibu kota negara dimunculkan," tandasnya.

Bivitri mengatakan, ada pemahaman yang kurang pas jika memahami lokasi pembangunan IKN baru berada di lahan kosong Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Saya kira ada salah kaprah juga saya kira seperti mengandaikan kita membuat sebuah ibu kota negara baru di sebuah lahan kosong padahal kan tidak di sana kan ada warga yang tinggal sekian generasi yang harus diperhatikan, tegas Bivitri.

Pernyataan tersebut muncul lantaran Bivitri melihat bahwa pembangunan ibu kota negara baru tersebut bermasalah. Pasalnya, pemerintah bakal membentuk badan otorita untuk IKN Nusantara.

Menurut Bivitri, jika hanya menggunakan pendekatan proyek maka kepala badan otoritanya harus bertanggung jawab pada Presiden.

Kita tahu ada Otorita Batam, Otorita Jatiluhur yang karena pendekatannya proyek maka kepalanya itu seperti bertanggung jawab kepada presiden dalam konteks Otorita IKN Nusantara ini kemudian juga tidak ada DPRD, pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU