Politik Identitas dan Pseudo Religionism

author Seno

- Pewarta

Jumat, 30 Des 2022 06:23 WIB

Politik Identitas dan Pseudo Religionism

Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA

Baca Juga: Surplus Fanatisme, Defisit Akal

Optika.id - Penentang politik identitas paling militan saat ini barangkali adalah Islah Bahrawi yang dibesarkan oleh BNPT dengan proyek deradikalisasinya.

Tesis pokok dakwahnya adalah bahwa politik identitas berbasis Islam adalah sumber perpecahan dan kehancuran bagi bangsa dan negara ini, sehingga harus ditolak.

Islah merujuk Pilgub DKI terakhir yang dimenangkan oleh Anies R. Baswedan, mengalahkan Basuki T. Purnama. Islah menyebut bahwa Anies menggunakan politik identitas untuk memenangkan Pilgub tersebut.

Akibatnya, demikian klaim Islah, telah terjadi keterbelahan bangsa ini menjadi kelompok cebong vs kadrun sampai hari ini. Bahkan saat Anies melakukan pendekatan pada kelompok-kelompok non-Islam, ia dicurigai tidak tulus, sekedar untuk kepentingan elektabilitas dan politik pragmatis.

Islah tampaknya telah menilai bahwa Islam by default bertentangan dengan kemajemukan yang dianjurkan Pancasila. Ini adalah hoax. Islah kemudian merujuk pada HTI, Salafy dan Wahaby akhir-akhir ini sebagai ideologi impor transnasional yang cenderung eksklusif yang ingin mengganti Pancasila.

Aliran-aliran ini berbeda dengan NU, juga Muhammadiyah, yang bagi Islah tampak lebih inklusif dan toleran serta telah menerima NKRI dan Pancasila. Segera perlu dicatat, bahwa Pancasila sebagaimana disepakati dalam Piagam Jakarta mengakui perbedaan primordial, sementara para tokoh pendiri bangsa menerima perbedaan agama sebagai pilihan dan pandangan serta sikap politik.

Rumusan Sila pertama 22 Juni 1945 yang disepakati secara lintas-agama dalam Piagam Jakarta justru lebih ramah HAM daripada Pancasila rumusan 18 Agustus 1945 yang mendiskriminasi warga negara yang bertuhan lebih dari satu.

Kekeliruan penting Islah Bahrawi adalah menempatkan agama, terutama Islam, sebagai satuan primordial seperti suku. Asal-usul suku tidak bisa ditolak, tapi agama adalah pilihan hidup manusia merdeka.

Pun sikap politik yang dipijakkan pada agama sebagai sebuah sistem keyakinan dan gaya hidup adalah pilihan sadar warga negara dewasa. Di titik ini perlu disadari bahwa marxisme, dan nasionalisme adalah agama, atau pseudo-agama.

Marhaenisme, ataupun Sukarnoisme, bahkan PDIP-isme adalah agama. Penganut Sukarnoisme sering mengatakan hidup mati bersama Bung Karno atau bahasa Jawanya pejah gesang tumut Bung Karno.

Identitas adalah keniscayaan dalam hidup yang wajar, apalagi hidup yang bertanggungjawab, dan bermakna. Politik identitas dengan demikian adalah keniscayaan dalam kontestasi politik sebagai ekspresi sikap ikut bertanggungjawab.

Baca Juga: Piagam Jakarta Revisited

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jika parpol-parpol Islam tidak mengagendakan kepentingan ummat Islam, maka mereka harus bangkit untuk mendesakkan polity as public goods.

Pandangan marketing bahkan mengatakan bahwa brand identity adalah strategi penting dalam persaingan, termasuk kontestasi politik. Strategi pokok dalam pemasaran adalah diferensiasi.

Keunikan sebagai identitas dibangun dengan brand, atau logo. Islah tidak menghendaki Islam mewarnai kontestasi politik di Indonesia sambil menyitir sejarah kekhalifahan Islam yang korup, dekaden, dan berdarah-darah.

Islah mungkin sengaja menyembunyikan fakta historis lainnya bahwa alternatif selain khilafah Islam bisa jauh lebih buruk. Pasukan Spanyol di bawah Hernan Cortez nyaris memusnahkan penduduk asli Indian di Amerika, sementara pasukan Inggris di bawah James Cook hampir saja memusnahkan kaum aborigin Australia.

Hanya Islam dengan ajaran jihadnya mampu menyelamatkan aboriginisasi ratusan suku di Nusantara ini. Islam bahkan faktor pemersatu berbagai suku yang ada di bentang alam kepulauan seluas Eropa ini.

Islah boleh jadi orang yang paling getol menebarkan ketakutan atas ekspresi Islam dalam kehidupan, termasuk dalam politik. Padahal itu dijamin oleh konstitusi. Agenda deislamisasi ini mungkin tidak dilakukan secara tandem dengan depopulasi, tapi dengan sekulerisasi atau abanganisasi.

Baca Juga: Musyawarah Rakyat di luar MPR?

Depopulasi mungkin bukan agenda Bahrawism, tapi agenda LGBTism. Sekulerisme dan LGBTisme adalah perang asimetris yang terus digempurkan ke bangsa Pancasila ini. Menolak politik identitas ala Islah Bahrawi berarti menerima sekulerisme, dan menerima sekulerisme berarti menerima LGBTisme.

Banyak aktivis keliru menyadari bahwa ummat Islam adalah kelompok minoritas. Yang mayoritas adalah kaum abangan. Ini bukti keberhasilan agenda sekulerisasi bangsa ini sejak Orde Baru.

Kabar baiknya adalah bahwa perubahan tidak pernah dibawa oleh mayoritas, tapi oleh highly select creative minority. Kaum sekuler kiri dan nasionalis radikal telah mengorganisasikan diri dengan lebih baik, lalu membuktikan kemenangan agamanya di jagad politik nasional sejak reformasi terutama melalui penggantian UUD45 dengan UUD2002.

Kaum muslim sebagai minoritas kreatif lainnya harus berjuang dengan sama-sama kerasnya agar terjadi perubahan politik yang lebih menjamin keadilan, dan memperluas kemerdekaan publik. Jika ini disebut berpolitik identitas, ya apa boleh buat. So be it!

Surabaya, 29 Desember 2022.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU