Mengenal Prolonged Grief Disorder, Ketika Rasa Kehilangan Jadi Trauma Jangka Panjang

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 28 Feb 2023 13:45 WIB

Mengenal Prolonged Grief Disorder, Ketika Rasa Kehilangan Jadi Trauma Jangka Panjang

Optika.id - Salah satu perasaan yang melanda manusia yakni kesedihan. Kesedihan bisa berasal dari banyak penyebab, salah satunya yakni kehilangan. Ekspresi sedih dari kehilangan merupakan hal yang wajar untuk diungkapkan. Namun, kesedihan yang berlarut-larut tidaklah baik dan bisa berimbas ke psikologi seseorang. Dalam psikologi, fenomena tersebut biasanya disebut Prolonged Grief Disorder (PGD).

Baca Juga: Ada Topeng Bobrok dalam Pamer Kemesraan di Media Sosial

Prolonged grief disorder ini dimaknai sebagai gangguan kesedihan jangka panjang yang dialami oleh seseorang ketika dia merasa kehilangan atau merindukan tiap momen bersama dengan orang-orang yang mereka sayangi atau mereka cintai, seperti orang tua, pasangan, sahabat, dan lain sebagainya.

Dikutip dari laman Psychiatry, Selasa (28/2/2023), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan sudah mengaku adanya gangguan kesedihan ini sejak tahun 2018. Bahkan, PGD ini sudah ditambahkan sebagai manual diagnostic dan statistic gangguan mental kelima yang ditetapkan oleh Amerincan Psychiatric Association (APA) pada 2022 lalu.

Bukan perkara yang remeh, PGD saat ini diperkirakan sudah menjangkiti sekitar 7 10% manusia yang berduka dalam populasi umum dengan tingkat yang lebih tinggi ketika terjadi kematian mendadak, tidak terduga, hingga mengalami kekerasan.

Adapun faktor risiko dari PGD ini termasuk ke dalam riwayat gangguan mood atau kecemasan sebelumnya. Yang berisiko tinggi terkena PGD ini yakni perempuan. Saking tidak terdeteksi dan kerap disepelekan, sekitar 20% orang yang menerima perawatan kesehatan mental bahkan tidak mengenali PGD itu sendiri.

Sementara itu, professor psikologi klinis sekaligus psikiater University of Arizona, Mary Frances OConnor menjelaskan jika ada banyak orang yang mengalami gelombang kesedihan secara intens sementara sebagian lainnya mengalami gelombang yang kurang intens atau jarang dari waktu ke waktu bahkan, dalam sebagian kasus manusia bisa beradaptasi dan akrab dengan gelombang kesedihan itu sendiri. Dampaknya, mereka bisa lebih tahu dan mengenal diri sendiri sehingga bisa menghibur atau menyesuaikan diri ketika ada kesedihan yang melanda.

Kesedihan yang terus menerus melanda dalam waktu yang cukup lama bisa melumpuhkan dan memengaruhi aktivitas sehari-hari dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh kesedihan biasa yang terjadi sehari-hari. Adapun untuk diagnosis gangguan kesedihan yang berkepanjangan, seperti kehilangan orang yang dicintai, jangka waktunya setidaknya setahun untuk orang dewasa atau 6 bulan masa silam untuk anak-anak dan remaja.

Baca Juga: Penyebab dan Cara Mengatasi Erotomania, Delusi Halu Cinta Terhadap Orang Asing

Lebih lanjut, gejala gangguan kesedihan jangka panjang ini antara lain terganggunya identitas yang bersangkutan seperti mereka merasa sebagian dari dirinya telah mati, munculnya emosional yang intens, adanya rasa tidak percaya diri, sulitnya merencanakan masa depan bahkan kesulitan dengan reintegrasi seperti masalah berhubungan dengan teman atau mengejar minatnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yang dirasakan selanjutnya yakni mati rasa emosional atau tidak adanya indikasi pengalaman emosional yang nyata, mengalami kesepian luar biasa, hingga merasa bahwa hidup tidak berarti dan sia-sia saja.

Lantas, adakah perawatan bagi para pengidapProlongned Grief Disorder ini?

Untuk mereka yang merasa sedih dalam jangka waktu yang lama dan merasa tidak normal, maka sebaiknya segera menemui ahlinya. Perawatan untuk PGD ini bisa lewat terapi perilaku kognitif (CBT) dan direkomendasikan untuk mengatasi gejala agar tidak makin parah. Tujuan dari terapi ini adalah individu tersebut diarahkan untuk akrab dan belajar menyerap kehilangan, menyesuaikan diri dengan situasi yang baru, beradaptasi dengan lingkungan, dan seiring waktu rasa sakit akan kehilangan tersebut dapat mereda.

Baca Juga: Gen Z Enggan Terima Panggilan Telepon, Benarkah Kena Telephobia?

Perawatan lanjutan biasanya menggabungkan komponen terapi CBT dan pendekatan lain untuk membantu beradaptasi dengan kehilangan dan kerugian. Peneliti juga menunjukkan bahwa CBT berhasil secara efektif pada penderita anak-anak maupun remaja yang mengalami gejala PGD.

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan antidepresan, plasebo, dan psikoterapi untuk mengobati PGD, mereka tidak menemukan bahwa pengobatan bermanfaat untuk mengobati kesedihan. Karena terapi ini relatif baru, penelitian tentang pengobatan pun masih terus berlangsung.

Bagi kalian yang merasa membutuhkan bantuan, ada baiknya tidak asal diagnosis mandiri. Segera temui bantuan sehingga mendapatkan penanganan dari ahlinya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU